Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Akhirnya Aku Pulang

8 Juli 2020   17:46 Diperbarui: 8 Juli 2020   17:41 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya baru sekejap aku terlelap dalam tidur setelah salat tahajud tadi. Aku sudah terbangun lagi. Dari jendela kaca yang tak bergorden tampak di beberapa bintang berkedip dalam keluasan langit malam. Udara dingin menyentuh kulit,suasana sepenuhnya senyap.

Biasanya aku langsung ke kamar mandi. Mengguyur sekujur tubuh, dan berwudhu. Bersiap untuk menyongsong sholat subuh berjamaah. Tapi rasa penat membuatku kembali terbujur di tempat tidur kayu. Rasanya letih dan ngantuk sekali. Masih ingin tidur beberapa saat saja.

Hari ini adalah hari terakhirku. Besok, lusa, dan seterusnya tidak lagi. Di rumah besar ini aku menunggu, membersihkan, dan memelihara dengan rapi dan bersih sepanjang hari. Bahkan juga menjaga dan memeliharanya dari tangan-tangan jahil. Aku menganggapnya sebagai rumahku sendiri. Ya, rumah besar ini tak lain sebuah masjid. Dan aku seorang marbot, si penjaga masjid. Tiga puluh tahun aku setia merawat dan memeliharanya. Tiba-tiba perasaan kehilangan menyergap.  Aku harus segera pulang ke kampung halaman. Harus? Ya, pensiun. Tepatnya dipensiun. Seorang marbot baru akan datang menggantikanku.

Kemarin siang seusai sholat Ashar Pak Haji Marlan memanggilku. Ia duduk di pojok belakang ruangan masjid. Wajahnya sumriah seperti setiap kali. Aku menyalaminya dengan takzim. Dan beliau menyilakanku duduk di sampingnya. Jamaah mulai meninggalkan masjid setelah sholat berjamaah., Namun, ada beberapa orang yang masih berzikir.

"Assalamu'alaikum, Pak Murowi. Saya perlu menyampaikan hal penting . . . . . .," ucap Pak Haji Marlan setengah berbisik.  Ia memandangiku dengan begitu ramah yang membuatkan merasa canggung.

Selama ini Pak Haji dikenal tegas dan getas dalam berbicara. Disiplin dan ketentuan agama ditegakkannya dengan baik. Dialah pembuat dan pemilik masjid besar ini. menjadi imam dan khotib, serta guru ngaji. Jamaah di sini tahu belaka, dan sangat hormat kepadanya.

'Waalaikum salam, Pak Haji. Maaf, apa masih ada yang perlu saya lakukan sekarang. . . . .?" tanya saya menebak-nebak ke mana arah pembicaraannya.

Pak Haji Marlan tidak segera menjawab. Tiba-tiba wajahnya tampak gelisah dan kurang nyaman. Senyumnya seketika hilang. "Ada kabar yang menggembirakan, tetapi  sekaligus menyedihkan. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya!" ujar Pak Haji seperti berteka-teki, dan tidak segera menjelaskan duduk persoalan yang akan dibicarakannya.

"Maaf, tentang apa ini, Pak Haji. . . . .?"

"Tentang orang di samping saya ini. Tentang Pak  Murowi, siapa lagi?"

"Saya?" tanyaku dengan terkejut. Seketika aku teringat pada sesuatu yang sangat spesial yang dilakukan Pak Haji Marlan. "Pasti ini terkait kunjungan pengurus DKM ke kampung saya yang terpencil tempo hari. Terkait dengan usaha merenovasi masjid kecil di sana? Lalu membangun sebuah rumah mungil yang memiliki halaman cukup luas itu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun