Meski diguyur hujan semalam, sisa kenangan masih berkerak dalam ingatan. Mungkin kelak bila datang pikun, atau memar batang otak, mengubah apa yang pernah ada menjadi tiada. Kenang ini bersaput rindu, dan tiap butirnya menetes-netes sepanjang setapak menuju pulang.
Tidak, tidak ada sesiapa mau kembali serupa bayi. Lupa diri, dan tak ingat beberapa detik lewat apa yang terjadi. Tapi ihwal kenang sungguh kerap datang sembarang saat. Bila daun-daun jati luruh, bila biji jagung tersebar dan menyemai pada penghujan berikutnya.
Langit mendung memayung tubuh ringkih, atau langkah terbata menyusur bayang. Tiba-tiba saja sosokmu menyungging senyum, samar tapi tak lengkang rasa manisnya. Bila pikun juga nanti adanya, masihkah ada rasa manis di lidah. Meski tak sepatah kata pun mampu dicerna maknanya.
Ada sungai kecil berair deras di balik bukit, ke sana ingin kubikin rakit menuju muara. Mungkin batang pisang, atau gelondong kayu tua, sekadar agar mampu untuk mengapung. Lalu melayang, menjauh tinggi, pada sebuah negeri ujung langit yang tak bosan berselimut senja.
Seharian ini terduduk aku di sini, menatapi tiap bayang seiring bisik, menyentuh sekilas senyummu tak habis-habis. Ah, masih saja ada sisa kenangan. Tak ingin kurayakannya dengan tangis. ***
Sekemirung, 4 Juli 2020
Baca juga tulisan menarik sebelumnya:
berhentilah-merokok-cari-alasan-sampai-ketemu
menulis-untuk-asyik-dan-sibuk-pensiunan-dan-merawat-ingatan
lelucon-gus-dur-polisi-tidur-dan-hari-bhayangkara
daging-oplosan-murah-kerjasama-pemburu-dengan-pedagang-daging-celeng
cerpen-bangku-panjang-taman-kota-2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H