Cerita sebelumnya:
Taman kota selalu menyenangkan untuk dikunjungi. Saya beristirahat di bangku panjang suatu pagi setelah lelah berolahraga. Muncul seorang perempuan muda berpenampilan kelaki-lakian. Lalu 3 pemuda yang coba memalak (memeras). Â Ini kalimat terakhir bagian pertama cerita pendek ini: Saya berbisik, "Kita selesaikan saja di lantai bawah, Dik. Lantai paling dasar bangunan ini. . . .!"Â
*
"Kenapa harus ke sana?" geram si kurus.
"Saya beri kalian masing-masing satu juta rupiah. Tapi harus mampu mengalahkan saya dulu. Bila kalian yang kalah saya bebas, tidak perlu bayar parkir pantat yang menjadi alasan kalian memalak saya. . . .!"
Secepat itu saya beranjak menuruni tangga ke lantai bawah. Lalu ke bawahnya lagi. Ketiganya mengikut saya. Mungkin uang satu juta rupiah cukup untuk satu orang. Toh mereka akan main keroyokan. Satu lawan tiga. Apa susahnya untuk mengalahkan?
"Jangan bohong, dan jangan coba-coba mengelabuhi kami. Kami bisa sangat kejam terhadap orang yang curang. . . . !" seru si gendut sambil setengah berlari menuruni tangga.
Tiga pemuda itu agaknya bukan laki-laki sembarangan. Sepintas saya perhatikan mereka mengeluarkan senjata masing-masing. Ikat pinggang berkepala logam, tongkat besi pendek, dan cutter. Senjata itu sudah di tangan masing-masing. barangkali dengan peralatan itu mereka pernah menghajar orang, menganiaya, atau bahkan membunuh.
Saya sedang berpikir keras untuk meladeni mereka. Berpikir keras untuk mencari dalih bagaimana supaya uang tiga juta rupiah tidak melayang dari dompet saya. Sebab itu hanya gertak sambal. Saya bukan siapa-siapa, bukan jagoan berkelahi, bukan pula aparat keamanan yang mengantongi sepucuk pistol untuk melawan mereka. Tapi tunggu, saya selalu membawa serbuk merica. Dan mungkin senjata pamungkas itu dapat menyudahi petualangan mereka.
Sampai di lantai paling bawah suasana sepi. Di ruangan yang begitu luas itu hanya beberapa mobil dan motor yang diparkir. Menjauhi undakan, saya menuju ke sudut yang agak gelap dan mengeluarkan botol serbuk merica. Dengan hati was-was dan jantung berdegup kencang saya tunggu serangan tiga pemuda itu.
Tapi tidak. Ternyata tiga pemuda yang membuntuti saya berhenti di ujung undakan terakhir. Sosok lain yang melangkah cepat mendekati justru seorang perempuan yang berpakaian kelaki-lakian dengan masker hampir menutupi wajah.
"Kamu lupa aku, Kang Mukarya?"