Saya tidak mau ribut. Dan memang tidak perlu. Saya terpaksa meninggalkan tempat itu, bergeser belasan langkah ke samping, ke undakan tangga alun-alun ke arah tempat parkir mobil dan motor.
Perempuan yang berpakaian laki-laki dan sesekali memperhatikan saya ikut beranjak dan duduk di bangku tak jauh dari tempat saya duduk. Saya tidak curiga buruk, mungkin hanya kebetulan saya di tempat duduknya sudah panas sinar matahari.Â
Perempuan di depan saya itu sekitar 30 tahun, atau lebih. Ramping penampilannya, mata bulat, bulu mata lentik, mengenakan jilbab dengan masker hampir menutup wajah. Sekilas pandang ia tampak penuh perhatian. Mengamati, dan mengerjap, seperti berpikir. Lalu entah bergumam apa, terdengar dengung saja dari mulutnya. Tidak terlihat oleh saya: tersenyum, merengut, atau ternganga. Saya ingin tahu, tetapi memilih diam saja.
Tiga pemuda itu kembali mendekati. Dan kali ini dengan terus-terang menyatakan jumlah yang harus saya bayar: "Lima puluh ribu rupiah, Bang. Itu sudah murah, Abang tidak bisa lagi berkelit. Uang parkir pantat sifatnya wajib. Demi keamanan dan kenyaman Abang sendiri. . . .!" gumam si pemuda dengan tubuh paling gempal dan berotot.
Saya terjingkat kaget. Dan seketika naik kemarahan saya. Tapi segera sadar, saya tidak boleh membuat keributan. Apapun boleh dilakukan, dan akan dilindungi kelompok saya, tetapi membuat keributan menjadi pantangan. Sebab bila sampai terliput media, meski sekadar media sosial, bakal panjang urusannya. Dan itu bisa berakibat fatal.
Saya berpikir cepat, dan mendapatkan jalan keluar. Saya berbisik: "Kita selesaikan saja di lantai bawah, Dik. Lantai paling dasar bangunan ini. . . .!" Â (Bersambung) ***
Cibaduyut, 30 Juni 2020
Baca tulisan menarik lain sebelumnya:
sepeda-onthel-dan-kenangan-touring-pada-akhir-80-an
adu-akting-yang-dimenangkan-si-penipu-butet-dan-melia-wahyuni
cerpen-berharap-ada-jodoh
cerpen-tahukah-tuan-ke-arah-mana-jalan-pulang
ketika-kejujuran-polisi-jadi-bahan-lelucon