Bersepeda itu sehat, kuat, dan menyenangkan. Apalagi bersama kawan-kawan, beriring-iring, melewati aneka kondisi jalan dan pemandangan alam kiri-kanan jalan.Â
Tidak ada perasaan lelah dan kurang minat. Sebab memang itulah salah satu pilihan yang memadai pada masa itu. Akhir tahun 80-an. Ada nuansa petualangan kecil-kecilan, pelampiasan hobi dan kenekatan, bercampur kesembronoan, dan kurang perhitungan.
Itulah kenangan, dan tentu juga kebanggaan (betapapun sederhana). Selain menulis, bersepeda memang menyenangkan bagi saya. Hobi bersepeda berawal dari tuntutan sebagai sarana transportasi saat bersekolah hingga kuliah. Lalu untuk touring, melihat hal-hal di luar sana, yang berbeda dari keseharian.
Dengan bersepeda saya melakukan perjalanan Yogya-Solo-Magetan - Sarangan-Tawangmangu-Solo-Yogya. Lalu bersepeda pula dari Yogya ke Pekalongan, dan kemudian bersepeda pula Yogya-Surabaya, pergi pulang. Perjalanan pertama 2 hari, perjalanan ke 2 dan 3 sampai 5 hari.
Satu malam menginap di perjalanan (di mana saja), dan satu malam di tempat tujuan (di rumah teman/kenalan). Masih ingat saya dalam perjalanan di Ungaran menginap di rumah dinas Mas Giran (pegwai dinas pertanian), di Pekalongan menginap di Koh Alim (mahasiswa di Yogya yang sedang pulang kampung). Dan di Surabaya menginap di rumah Pak Yasin (di kompleks Angkatan Laut). Rombongan kami atas kebaikan seorang kepala desa juga pernah menginap di sebuah pendopo (tanpa dinding).
*
Sekolah, Lebaran
Saya bersepeda dari kelas 1 SMA (Pajeksan -- Pakuncen) hingga tahun ketiga kuliah (Pajeksan -- Bulaksumur). Enam tahun. Dengan sepeda yang sama, sepeda model kuno dengan "dalangan" antara sadel dengan batang ke stang.
Bersepeda jarak dekat sudah biasa, diantaranya ke Kotagede (rumah teman SMA, pengarang), Imogiri (makam raja), Gua Selarong (petilasan Pangeran Diponegoro), Prambanan (candi), Bantul (ikut perkumpulan tenaga dalam), Pantai Parangtritis dan Pantai Samas (lokasi wisata). Pagi berangkat, sore pulang. Tetapi bersepeda jarak jauh memang perlu persiapan lebih matang.Â
Menggunakan sepeda yang sama, saya bersama 4 orang teman mendapati tanggapan heran dan tidak mengerti dari orangtua maupun keluarga dan tetangga. Sebab kami selalu berangkat "touring" pagi-pagi pada hari pertama Idul Fitri (setelah salat Ied).
Ada beberapa keuntungan bersepeda jauh pada hari pertama Lebaran itu. Pertama, jalanan dan lalu lintas relatif sepi (tidak seramai dan semacet hari lain). Kedua, sekolah/kuliah belum  ada kegiatan. Ketiga, merayakan Lebaran di jalan sangat menggembirakan (selepas berpuasa sebulan dengan aktivitas ketat berpuasa pada siang hari dan beribadah pada malam hari). Keempat, ada cukup uang di saku dari orangtua untuk ber-Lebaran.
*
Sepeda Tua, Berko
Pada tahun-tahun itu hanya ada sepeda laki-laki (dengan dalangan) sepeda perempuan, dan sepeda anak-anak (sepeda pendek untuk anak-anak usia SD/SMP dan sepeda roda tiga untuk anak balita). Belum banyak pilihan sepeda seperti saat ini. Oya, tentu kecuali sepeda balap untuk para pembalap, dan mereka yang punya kemampuan ekonomi menengah ke atas.
Masyarakat kebanyakan menggunakan sepeda onthel. Itu berarti tinggi sadel sepeda lumayan tinggi, hanya ada satu model gir. Dengan begitu mau jalan menanjak, menurun, atau datar, gear-nya tidak dapat diubah-ubah.
Karena keterpaksaan pernah saya dan rombongan melaju pada petang/malam hari. Padahal sepeda tidak menggunakan lampu berko. Itu sebabnya saya berbekal senter batu baterai.
*
Tanpa Rem, Meringis
Modal nekat, itu salah satu ciri khas anak muda. Sampai sekarang pun mungkin hal demikian tidak berubah. Bersepeda jarak jauh itu mestinya membawa perlengkapan memadai: pompa, alat tambal ban, alat-alat seperlunya kalau ada kerusakan di jalan. Tapi tidak.
Nah, itulah yang terjadi. Ketika bersepeda melalui Sarangan -- Tawangmangu kondisi medan berat. Tanjakan dan turunan tajam. Pada tanjakan terakhir sebelum naik ke Sarangan, saya menyerah, dan membonceng angkutan umum. Sepeda diikat di belakang mobil minibus, saya duduk sebagaipenumpang. Tiga teman lain memilih berjalan kaki menuntut sepeda mereka.
Keesokan harinya mendaki lagi menuju Cemoro Sewu dengan susah-payah. Lalu turunnya rem blong, alias tidak lagi ada rem. Satu waktu ketika menurun agak laindai saya naik ke sadel. Tetapi tiba-tiba (melalui sebuah tikungan) ada turunan sangat tajam. Panik. Apa akal? Â Saya tabrakkan sepeda saya ke tanah agak mendaki agar sepeda tidak melaju turun tak terkendali. Beruntung pelek sepeda tidak berubah menjadi angka delapan.
Perjalanan masih dapat diteruskan. Nah, tapi harus ada akan supaya sepeda tetap menggunakan rem. Apa boleh buat, saya naik sepeda tidak lagi nangkring di sadel tetapi cukup telapak kaki kiri menginjak pedal kiri dan kaki kanan (bersepada) sebagai rem.
 Pada satu turunan, tiba-tiba ada klakson sebuah mini bus melaju dari belakang (mungkin laju sepda saya terlalu ke tengah jalan), kaget saya, dan panik. Lagi-lagi ban sepeda saya tubrukkan ke buk/tembok bundar penanda pinggir jalan. Terjatuh saya. Tapi kurang ajarnya para penumpang di dalam minibus tertawa serentak kesenangan melihat kondisi saya itu. Saya hanya dapat ikut tertawa, tapi agak meringis, sebab malu.Â
*
Kalau ingat kembali hal-hal itu saya tak dapat menahan tawa. Nekat dan sembrono menyertasi petualangan kecil-kecilan dengan sepeda onthel saya waktu itu.
Anak-anak milenial saat ini tentu tidak kekurangan cara untuk juga "bertualang" menggunakan sepeda mereka. Mumpung bersepeda kembali ngetren. Menjadi semacam gaya hidup. Jangan hanya "pamer" mewah dan mahalnya sepeda maupun aksesoris yang dipakai, tapi pamerkan juga "keluarbiasaan" apa yang beda-unik-hebat.
Jangan lupa bikin foto dan videonya, Â bikin tulisannya di media sosial, bikin vlog dan konten lain untuk Youtube. Dan hal itu kelak -mungkin berpuluh tahun mendatang, bila diberi umur panjang- bakal menjadi ingatan tak terlupakan pula. ***
Cibaduyut, 27 Juni 2020 / 5 Zulkaidah 1441
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H