Bertemu teman lama tentu asyik, sangat asyik, dan kadang bikin lupa apapun yang lain. Lupa kesehatan, lupa aktivitas yang lain, lupa juga pada kemampuan finansial yang terbatas.
Apalagi kalau sudah bercerita yang lucu-lucu masa lalu. Soal romantisme zaman dulu, soal yang kini terasa aneh, soal guru -- aktivitas di luar kelas -- aneka kenakalan dan banyak lagi.
Undangan reuni selalu menyisakan perasaan tidak biasa, yaitu antara rindu dengan malu. Rindu karena masa lalu selalu indah unduk dikenang, dan hanya kawan lama yang mampu mengungkit kenangan itu.
Sedangkan malu terkait masalah ongkos dan biaya. Reuni itu tidak murah. Dan bagi yang punya ekonomi pas-pasan (termasuk penulis) sangat berat untuk menambah rutinitas sehari-hari dengan kegiatan reuni. Apalagi reuni dilakukan di luar kota, di rumah makan, atau harus menginap di hotel.
Segenap biaya itu menyebabkan penulis dengan malu-malu kerap menyatakan tidak ikut, dengan dalih ada acara lain yang berbarengan.
Terlepas dari soal asmara dengan segala tetek-bengeknya --bagi yang pernah memiliki memori seperti itu- bertemu teman lama mengingatkan kita pada masa muda, masa jaya, penuh semangat dan impian. Meski pada akhirnya harus sadar diri, mimpi itu tidak mudah tergapai dalam genggaman.
Menjadi tua, dengan diberi jatah umur agak lebih panjang, sudah Alhamdulillah. Terlebih bila diberi sehat wal afiat. Itu bonus tak terhingga nilainya. Nah, bila ditambahi bonus lain lagi, yaitu kesempatan untuk reuni, bukanlah lengkap sudah kebahagiaan masa tua ini?
Kemampuan finansial boleh nomor sekian, dan boleh dikata sangat memprihatinkan, tetapi persahabatan tidak mengurusi itu selagi ada memang satu atau dua orang yang ikhlas berbaik hati untuk memberi uluran tangan.
Bila tidak pun tidak apa-apa. Dan memang bila ada undangan reuni, dan secara rata-rata biayanya tidak terlalu memberatkan, mengapa harus menolak untuk datang? Maka datang saja. kalau pun terpaksa absen, alias mangkir dan minta izin, ya itulah yang penulis sangkakan sebagai malu.
Bukan pengalaman orang lain perasaan empati itu muncul, melainkan memang perasaan pribadi penulis. Reuni sebuah undangan mewah. Sebab di tempat memadai, ketemu dengan teman-teman yang sukses, lalu disuguhi aneka makanan dan minuman yang lezat, dan ditambah lagi dengan organ tunggal yang disediakan untuk bernyanyi-nyanyi mengungkapkan perasaan riang gembira yang seolah tak akan pernah berakhir.
Untuk urusanlain-lain, penulis terpaksa berbisik kepada panitia, mohon maklum bisa datang pun sebuah perjuangan. Jadi, jangan ditagih yang lain-lain. Takutnya nanti tidak bisa sampai rumah kembali lantaran dompet kosong dan harus terkatung-katung di jalan. Mohon maklum.