Selama pandemi Covid-19 kita "dipaksa" di rumah saja. Ada tagarnya, #dirumahaja. Semua apa dikerjakan di rumah, termasuk bekerja dan beribadah. Salat wajib 5 waktu  pun di rumah saja, salat Jumat diganti zuhur.
Tentu pamahaman "rumah" di situ adalah rumah kita masing-masing. Rumah sendiri-sendiri. Bukan rumah tetangga, rumah selingkuhan, apalagi rumah tahanan (Rutan).
Yang lain-lain lupakan dulu, termasuk mudik dan bersilaturahmi dengan sanak-saudara jauh yang biasa dilakukan saat Lebaran. Saat ini kta dapat betul-betul mempraktikkan lirik lagu Baju Baru yang pernah popular untuk anak-anak dan dibawakan Dea Ananda:
Baju baru Alhamdulillah / Tuk dipakai di hari raya / Tak punya pun tak apa-apa / Masih ada baju yang lama //
Sepatu baru Alhamdulillah / Tuk dipakai di hari raya / Tak punya pun tak apa-apa / Masih ada sepatu yang lama //
Rumah Sendiri
Tinggal/menetap di rumah sendiri memungkin tiap anggota keluarga mampu berkomunikasi-aktivitas-sosialisasi makin dekat satu dengan lainnya. Ayah/ibu, anak-anak, kakek/nenek, paman/tante, keponakan, dan lainnya (dalam keluarga besar} makin akrab saja. Keharmonisan terjalin.
Rumah sendiri dapat pula berarti "rumah kita". Itu judul lagi yang dinyanyikan Ahmad Albar dari Godbless yang bercerita tentang kesederhanaan hidup di desa, dan tidak tertarik untuk pergi ke kota (urbanisasi). Lirik itu menjadi sebuah imbauan yang kontekstual hingga kini.
Bahkan pada saat pandemi virus corona kali ini, lagu Rumah Kita menambah kenyamanan orang-orang yang mengisolasi/karantina diri di rumah, meski sederhana dan apa adanya.
Ihwal beribadah di rumah. seorang khatib salat Jumat siang ini menjelaskan: "Kita tidak menyalahi aturan Pemerintah, tetapi juga tidak menyalahi ajakan memakmurkan masjid." Ia mengurai bahwa yang ditempati untuk Jumatan memanglah sebuah masjid kecil berbentuk rumah. Apapun itu namanya tetap sama: rumah Tuhan.
Dulu tahun 1980-an di TVRI ada serial televisi populer berjudul "Rumah Masa Depan". Ya, sebuah rumah biasa, tetapi dengan kehidupan yang diidealkan dengan berbagai dinamika di dalamnya. Namun, kata-kata itu dapat pula diartikan rumah futuristik sesuai dengan kebutuhan zamannya. Atau rumah di plaet lain, semisal di Mars. Tetapi ada yang memberi arti berbeda pada frasa itu. Rumah kita dan rumah masa depan yang hakiki kiranya punya arti lain yang serupa, yaitu alam kubur.
Di dunia setiap orang membangun rumah dengan usaha keras, perjuangan tak kenal lelah, mati-matian, dan tak jarang diganti dengan pengorbanan pula besar. Rumah kecil dan sederhana pun harus dijaga, terlebih bila ada yang hendak merampas dengan aneka dalih dan pembenaran.
Sebaliknya makin banyak saja orang membangun rumah dengan gagah, megah, serta sangat mewah. Tidak ada yang salah, dan baik-baik saja, selama cara mendapatkannya benar, tidak menyimpang dari tuntunan agama.
Demikian pun kebanyakan, bahkan hampir semua, koruptor yang terkena tangkap tangan KPK memiliki rumah yang megah dan mewah. Kerap tidak hanya satu malah. Terlalu sibuk mengumpulkan harta untuk membangun rumah mewah di dunia, sampai lupa membangun rumah masa depan.
Ramadan ini mudah-mudahan setiap muslimin-muslimah maksimal menjalankan shaum dengan segenap amal-ibadahnya. Berharap pula mendapatkan Lailatul Qadar, satu malam yang lebih mulia dibandingkan 1000 bulan/83 tahun. Dan itu modal sangat ideal untuk kelak mendapatkan rumah masa depan yang indah.
Panggilan Kubur
Orang-orang yang bekerja keras-giat penuh semangat-tekun serta istikomah untuk mendapatkan rumah masa depan yang terindah niscaya akan sangat berbahagia pada akhirnya kelak.
Rumah dunia sifatnya sangat sementara, pendek, dan sebetapa pun gagah-megah-mewah tak akan menandingi seujung kuku pun kemegahan rumah di alam sana. Itu rumah yang akan ditinggalkan demi mendapatkan rumah indah di alam akhirat .
Banyak orang yang pesimistis, gamang, dan bahkan tidak percaya. Â Mahluk hidup bukan hanya fisik/ jasad; tetapi juga nyawa- ruh - jiwa. Fisik hancur dan kembali menjadi debu/tanah, tetapi ruh tidak. Pada saat dibangkitkan kelak ruh itu pula yang akan kembali menemui fisiknya menghadapi pengadilan akhirat.
Itu sebabnya kubur menasihati, mengingatkan, mewanti-wanti setiap orang. Kubur menyebut dirinya sebagai "rumah". Serunya, aku adalah rumah sunyi/kesendirian, rumah gelap gulita, rumah debu, rumah yang dipenuhi ular, dan rumah pertanyaan Munkar-Nakir.
Maka persiapkan dirimu dengan: banyak membaca Al Qur'an, sembahyang malam, bertakwa dan beramal salih, banyak mengucap "Bismillahir rahmaanir Rahim" hingga bercucuran air mata, dan perbanyak membaca "Laa ilaha ilallah, Muhammadur Rasulullah".**
*
Nah, itu saja. Pada akhir Ramadan 1441 Hijriah kali ini mudah-mudahan sabar atas semua cobaan yang ada, dan tetap bersyukur meski dalam kekurangan kala tinggal di rumah.
Harapannya, kita masih dapat dipertemukan dengan Ramadan yang akan datang. Bila pun tidak, kita sudah mempersiapkan rumah masa depan dengan sebaik-baiknya. Â Insyaallah. Wassalam. ***
Sekemirung, 22 Mei 2020 / 29 Ramadan 1441
** Sumber buku: Â 'Munkar dan Nakir' (segudang persiapan untuk menghadapi Munkar dan Nakir sejak pertama kali di alam kubur) oleh H. Muhammad Yusuf bin Abdurrahman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H