"Cerai bagaimana ini, Bu? Sabar, sabar. . . Â Bukankah kamu sendiri sudah janji. Bila aku kaya boleh punya isteri berapa saja. Ingat itu? Kamu sendiri yang bilang. . . . !" kilah Tuan Jabrik dengan suara halus coba mengendurkan tensi tinggi pekikan isterinya.
"Janji? Janji apa? Mimpi kamu saja itu. Mana ada isteri yang mau dimadu?"
":Ada pasti. . . .!"
"Isteri yang sudah meninggal dunia?"
"Masih hidup. Kamu bercanda. Dasar badut. Busuk. Kunyuk. Di kepalamu hanya ada Nona Salmon. Enyah kamu. . . . . !" ucap isteri Tuan Jabrik disertai tangis yang keras meraung-raung.
Para tetangga kaget, tergopoh berkumpul dan kebingungan. Tidak ada hujan tanpa angin tiba-tiba pertengkaran hebat itu terjadi. Mereka ingin melerai, tapi takut. Jangan-jangan ada diantara keduanya sudah membawa senjata tajam. Celaka bila seperti itu, niat baik bisa berakhir buruk
Tapi tak urung Pak RT yang datang tergopoh-gopoh untuk melerai. Warga khawatir terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
"Sabar Pak. . . . ., sabar Bu. Jangan seperti itu. Jangan ada kekerasan diantara suami-isteri. Tetangga juga nanti yang repot. Ayo damai, damai saja. Ada masalah bisa dibicarakan, ada kebuntuan dapat dipecahkan. Saya selaku RT bersedia menjadi mediator. Kami prihatin, tapi. . . . . . Â !" ucap Pak RT setelah berhasil merangsek ke halaman, lalu menerobos ke ruang tamu suami-isteri ang bertengkar hebat itu.
Tetapi seketika ia tak mampu meneruskan kata-katanya sendiri. Lungai, lemas, tak berdaya.
Suami-isteri itu sedang duduk manis di ruang tamu. Saling berhadapan, dan tidak ada wajah maupun suasana genting layaknya awal sebuah peperangan hebat. Keduanya memegang kertas. Dengan ramah keduanya tersenyum, dan mempersilakan Pak RT untuk ikut duduk.
Kopi panas dan camilan sudah tersuguh di meja. Ada juga buah-buahan.