Hujan lebat, guntur dan kilat berkelebatan di langit, menakutkan. Tetapi dialog panjang belum juga usai. Ini soal nama yang kontroversial dan membingungkan. Sebab di kampung itu ada belasan nama yang sama, yaitu Mardimun.
"Nama boleh sama. Tapi panggilan buatlah beda-beda. Itu perlu agar tidak bikin bingung. Agar gampang urusannya. . .!" saran Pak Kepala Dusun suatu hari.
"Beda bagaimana, Pak Kadus?" tanya salah satu Mardimun spontan.
"Nama Mardimun 'kan bisa dipanggil dengan aneka variasi sebutan.. . . "
"Variasi?"
"Ya, beda-beda.. . . .!" ujar Pak Kadus coba menjelaskan. "Lalu sematkan di depan nama asli. Misalnya Amar Mardimun, Ardi Mardimun, Didi, Dimun, Mumun, atau Munar. Pilih salah satu.. . . .!"
Tapi usulan itu sulit dilaksanakan. Kalau nama panggilan diganti maka kebanggaan sebagai pahlawan kampung, sebagaimana cerita yang bekembang sejak dulu, bakal musnah. Dan itu tidak baik. Mardimun dikenal sebagai rampok budiman. Di akhir hayatnya tobat dan mendapat hidayah. Karenanya para ibu suka anaknya dipanggil Mardimun saja.
Jadi biarlah ada seribu Mardimun sekalipun. Tidak masalah. Maka tiap nama itu akan bersama-sama merasa sebagai pahlawan kampung. Dan itu tentu lebih baik, logis, dan adil.
*
Tinggal seminggu sebelum pentas, aneka promosi sudah gencar digelar pada banyak media. Bahkan berbagai peristiwa setingan pun dilakukan. Misalnya Tuan Jabrik akhirnya menikah dengan Nona Salomania, sehingga isteri tua betul-betul minta cerai.
"Minta cerai. Tidak boleh ada kata penolakan. Cerai, titik. . . . !" bentak isteri Tuan Jabrik dengan nada tinggi, nyaring, dan getas.