Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Berpuisi Saat Berpuasa

1 Mei 2020   06:44 Diperbarui: 1 Mei 2020   07:02 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
puisi dan pena terbuka - englishpoetrytask.wordpress.com

Berpuisi itu waktunya bisa kapan saja. yang paling afdol ketika mood datang. Ada suara-suara yang memanggil-manggil untuk menuliskannya. Terutama oleh rangsang indera, juga pikir dan rasa terhadap apa yang ada sekarang, saat lalu, dan saat yang akan datang.

Berpuisi dapat dilakukan pagi, siang, sore, malam, bahkan larut malam. Asal ada secarik kertas dan sebuah alat tulis, pensil atau ballpoin, cukuplah untuk menggoreskan kata demi kata. Menjadi untaian kalaiman yang seedap dan memikat, baik rasa maupun maknanya. Maka jadilah ia puisi, minimal untuk diri sendiri. 

Setelahnya perlu pengendapan, dan pematangan, maka akhirnya siap dilahirkan. Dititp ke platform online. Maka jadilah ia karya mandiri yang harus siap mengurusi dirinya sendiri. Penyair tinggal mengamati dari jauh sampai seberapa tinggi rangkaian tulisan itu boleh membubung tinggi.

Swebuahpuisi pendek, pada pukul 02.45 WIB tadi saya dengar dari mulut anak-anak yang sedang bising membangunan oang untuk makan sahur, bunyinya sederhana:

Dibangunin marah-marah,
tidak dibangunin kesiangan.

Tetabuhan dana teriakan mereka memang bikin sakit telinga. Apalagi para rumah-rumah berdempetan. Bunyi patat galon air yang dipukul dengan kayu bertubi-tubi, juga botol kecap didera dengan potongan besi, serta baskom, ember, panci dan apalagi yang bisa asal bunyi dan sember kemana-mana. Jadilah riuh-rendah suara, dan siapa yang tidak marah-marah dibangunkan dengan cara brutal seperti itu.

Saya membayangkan mereka yang beda agama, dan pasti tidak menjalankan puasa Ramadan, jangan-jangan ketika berangkat tidur sudah memasang gumpalan kapas di lubang telinga. Suara berisik itu betul-betul membuat jengkel, tapi memang penting untuk membangunkan.

Saya tidak dapat mengikuti kalimat berikutnya, sebab mereka sudah berjalan menjauh. Tapi jangan salah duga, tidak berapa lama mereka akan datang lagi, menggeber-geber teriakan.

Saya coba-coba rangkaikan sendiri, kalimat ikutan yang mungkin mereka serukan dini hari itu:

Sungguh kami tidak mencari upah,
repot begini demi sebuah pengabdian.

Kembali pada bising dan berisiknya mereka. Kalau pada lewat tengah malam bukan pada bulan Ramadan dipastikan hanya orang-orang mabuk yang meriah tetapi urakan seperti itu. Tak jarang mereka sibuk berkelahi antar mereka, berlarian saling kejar, berteriak-teriak serupa orang gila.

Kata-kata yang muncul dari mulut mereka penuh umpatan, cacian, dan ancam pembunuhan. Entah sudah berapa gelas cairan berasap merek drum atau topi miring mereka tenggak, atau sekadar minuman oplosan yang murah dan mematikan itu.  

Puisi mereka tak perlulah saya tuliskan di sini. Sebab sangat tidak pantas, penuh kebencian dan amarah, serta menakutkan. Bahkan provokasi dan fitnah bertebaran. Muncrat begitu saja seperti darah mereka saat urat mereka terpotong dalam perkelahian.

Bunyi-bunyian lain hanya pedang panjang yang diseret-seret sepanjang gang dan lorong. Atau punya dua pedang berbenturan. Danpaginya mereka teronggok di tengah jalan, di selokan, atau di emperan rumah orang. Ada yang kaku suah menjadi mayat.

Orang-orang yang terbangun karena keributan mereka hanya bisa mengelus dada, sebab bila coba-coba meredakan kegembiraan mereka bisa-bisa pedang melayang sembarangan, mematuki tubuh kita. Itu trauma saya saat masih sekolah di kawasan padat di belakang Jalan Malioboro sana.

Tentu gambaran di ata sisi buru kehidupan. Mereka pun berpuisi. Sedangkan para penyair sejati dapat mengguratkan sisi spiritual mendalam mengenai ironi kehidupan itu, untuk dijadikan cermin, baik dalam bentuk cermin retak atau cermin utuh yang menginpirasi para pembacanya.

Kala sepertiga malam jelang pagi, di tengah suasana hening orang-orang bertahajud, para penyair menorehkan pena untuk sajak-puisi dan syair penuh hikmah, untuk memperindah hakikat kehidupan. Hidup ini sendiri sebenarnyalah jutaan judul puisi, yang harus dengan arif dapat dibaca makna di sebaliknya.

*

Nah, itu gambaran orang-orang yang berpuisi. Sedangkan cerita mengenai orang berpuasa lain lagi sisi menariknya.  

Orang-orang yang berpuasa waktunya tertentu. Hari-hari dan bulan tertentu. Tidak boleh sembarang waktu. Yang paling umum berpuasa Senin-Kamis. Waktu berpuasa seperti nama hari yang disebutkan itu. Setiap minggu, sepanjang tahun, kecuali bulan Ramadan. Ada yang berpuasa Daud, mengikuti kebiasaan Nabi Daud. Yaitu sehari berpuasa, sehari tidak berpuasa, begitu seterusnya.

Banyak orang yang kuat berpuasa meski paeda siang hari bekerja keras? Inilah rahasia niat dan kesungguhan dari beribadah. Satu perasaan yang diliputi rasa syukur dan sabar. Sabarnya yang kala lapar dan haus, kala harus menyingkirkan rasa malas dan ngantuk, kala badan terasa lemah tak beraya. Harus sabar, sabar, dan terus sabar.

Sedangkan rasa bersyukur, bahkan sebelum waktu berbuka tiba, yaitu kala menyadari masih diberi badan sehat wal'afiat, dan justru berpuasa menjadi salah satu penyebab badan kita sehat. sebab justru makanan, apalagi berlebihan dan salah dalam memilih, penyebab datangnya penyakit.

Orang tidak mau sakit, meinimal tidak mau gampang sakit, dan karena itu harus rajin berpuasa. Namun, sebenarnya arti berpuasa dalam agama, bukan sebatas berpantang makan-minum, tetapi juga berpantang dari berbuat-berkata-berpikiran buruk-salah-semaunya dan tidak peduli. Tulus dan ikhlas bahkan sejak dari hati dan pikiran, untuk menjalankan apa-apa yang diperintahkanNya, dan menjauhi apa-apa yang dilarangNya.

Ya, tentu semua itu bermuara pada Allah Swt, sang mahapencipta, yang sekaligus maha pengasih dan penyayang. KepadaNya kita akan kembali, dan karenanya hanya kepadaNya kita memohon pertolongan.

Mari menuliskan keindahan puisi untuk menggapai ridhoNya, salah satunya dengan taat menjalani laku berpuasa. Tidak perlu sedahsyat sajak-saja Chairil Anwar, atau sereligius puisi-puisi K.H Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus, Kyai yang penyair kondang itu. Cukuplah jika berisi hal-hal sederhana dalam upaya nasihat-menasihati untuk kebaikan dan kebenaran.

Nah, itu saja. Selamat menjalankan shaum Ramadan 1441 Hijriah, agar diakhir nanti kita digolongkan sebagai orang-orang yang bertakwa. Aamiin. Dan Allah Mahatahu yang benar dan yang sebenarnya. ***

Sekemirung, 1 Mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun