Setiap orangtua punya harapan besar kepada anak-anak mereka. Terlebih seorang ibu. Ia menyertai tumbuh-kembang darah-dagingnya dengan segenap rasa cinta.Â
Dari bayi hingga dewasa, seiring dengan perjuangan untuk menghidupi dan mendidik anak-anak itu. Seorang ibu rela melakukan apa saja demi mereka.
Namun, menginjak usia remaja sesuatu yang tak terbayangkan terjadi. Seperti tiba-tiba saja petir menyambar. Lemas, lemah, dan lungai badan mengetahui kenyataan itu. Bukan hanya malu dan tak berdaya, tetapi juga menyesali. Merasa diri bersalah, atau sebaliknya menyalahkan orang lain. Marah, sakit hati, dan entah perasaan apa lagi. Semua bertumpuk membebani perasaannya.
Ibu mana yang tidak terkaget-kaget mendapati kenyataan itu? Kenyataan apa? Berikut tiga peristiwa yang mengharu-biru perasaan seorang ibu.
*
Di Jember, Jawa Timur, seorang ibu melakukan kegiatan dan kesibukan sehari-hari seperti biasa. Ia punya seorang anak lelaki berusia remaja.Â
Sekolah kelas 1 SMK. Seperti remaja lain ia menunjukkan sikap keremajaannya. Tapi memang tidak seaktif teman-teman sekolahnya. Si anak cenderung agak menutup diri.
Hingga suatu hari, Ibu mendapat telepon dari seseorang di Satpol PP.
Ya, dari Satuan Polisi Pamong Praja. Bingung ia, bertanya-tanya ada apa. Waktu itu ia tahu anak lelakinya belum pulang. Kebiasaannya pergi ke rumah teman sampai malam. Tak jarang malah menginap di rumah temannya.
Siang itu si Ibu diminta untuk datang ke kantor Satpol PP, Rabu (15/4/2020). Dan ia berangkat dengan penuh tanda tanya.
Di kantor itu betapa kagetnya ia, setelah berbincang beberapa lama dengan petugas yang ada, seorang petugas menjelaskan:Â
"Anak ibu tertangkap dalam patrol rutin harian tadi malam. Anak ibu masih sekolah, tetapi sudah berprofesi sebagai waria. Ia mangkal di dekat stasiun kereta api bersama waria lain!"
Mengaku hanya iseng-iseng, dan baru pertama kali mangkal di tempat itu, Satpol PP Jember mengembalikan si anak untuk dididik di rumah. Entah bagaimana tanggapan para tetangga bila mereka mengetahui sesuatu yang memalukan itu.
Seorang lelaki yang suka berpakaian perempuan, dan apalagi menampakkan kesukaannya pada sesama jenis, tentu bukan muncul seketika. Mungkin ia menjadi korban dari kondisi keluarga maupun lingkungannya. Maka sudah selayaknya si Ibu itu membawa anaknya ke ahlinya agar ditangani, sebelum si anak terlanjur terlalu jauh terperosok pada perilaku menyimpang.
*
Lain lagi kepiluan hati seorang ibu di Surabaya. Ia punya anak perempuan kecil ketika harus bercerai dengan suaminya. Kehidupan yang sulit mengharuskannya bekerja jauh dari rumah.Â
Setelah sekian lama menjanda, suatu ketika ada seorang lelaki ingin memperisterinya. Ia pun tak keberatan. Tahun 2011 ia menikah dengan EW. Ia bersyukur puterinya ada yang menjaga di rumah, sehingga dapat bekerja dengan hati tenang.
Sampai suatu hari si ibu mendapati puterinya hamil. Dan yang lebih mengejutkan, yang menghamili puterinya tak lain EW sendiri.Â
Hubungan terlarang itu telah dilakukan bertahun-tahun, sejak si puteri kelas 1 SMP. Iming-iming ponsel baru dan kuota menjadi rayuan si ayah tiri. Bayi lahir, dan EW dilaporkan ke polisi.
Sedih hati si ibu tak tertanggungkan. Ia mendapatkan cucu, tetapi hasil dari perselingkuhan puterinya dengan EW suami keduanya. Karena perbuatan bejatnya kini EW mendekam di tahanan Mapolrestabes Surabaya.
*
Cerita pilu yang dialami seorang ibu bukan hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga di negeri jauh.
Di kota Nogales, Meksiko, seorang ibu kehabisan bahan makanan. Lockdown covid-19 diberlakukan di kota itu. Ia pun berusaha mendapatkan izin keluar rumah untuk berbelanja bahan makanan. Ia meninggalkan seorang puterinya sendirian di rumah.
Seorang tetangga memberitahu melalui ponsel kepada si Ibu, bahwa ia tidak melihat puterinya. Maka bergegas si Ibu pulang, dan mendapati rumahnya sudah di jaga polisi.
Puterinya ditemukan tewas di kamar tidurnya. Menurut laporan Polisi, pendobrak masuk ke dalam rumah, lalu memperkosa dan membunuh anak berumur 13 tahun itu.
*
Kalau boleh memilih, seorang ibu tidak akan memilih kepiluan apapun yang menimpa anak-anak mereka. Â Mungkin saja para ibu lalai dan kurang memperhatikan anak. Mungkin anak-anak yang tidak dekat dengan ibu dan mulai berubah.
Menjelang masa remaja awal (13-16 tahun), anak-anak akan mengalami kondisi di mana kehidupan terasa bebas, rasa penasaran yang tinggi terhadap hal-hal baru, meningkatnya fungsi seksualitas dan dorongan emosi yang tidak stabil.
Terhadap hal tersebut, peran orang tua harus mengontrol perilaku mereka. Caranya dengan menjalin komunikasi lebih eat, mengajari anak pada norma dan nilai agama, serta mengawasi mereka dalam penggunaan telepon pintar, tablet serta saat menonton televisi.
Nah, itu saja. Mudah-mudahan kepiluan di atas, dan kesedihan apapun, tidak menimpa keluarga kita. Harapan lain, semoga keganasan Covid-19 segera berlalu. ***
Cibaduyut, 18 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H