Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Kini Hampir Semua Orang Bertitel Drs/Dra

12 April 2020   18:44 Diperbarui: 12 April 2020   18:43 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambaran kegembiraan sarjana yang baru selesai diwisuda (ilustrasi: bizjournals.com)

Sarjana lama (zadul, atau zaman dulu) banyak yang bertitel kesarjanaan "de-er-es, atau drs" (doktorandus, alias calon doctor). Dulu hampir semua sarjana sosial bertitel/gelar kesarjanaan "drs". Sarjana sosial-politik, budaya-bahasa-humaniora, dan ekonomi. Kecuali studi hukum, dulu pun gelarnya sudah "Sarjana Hukum" (SH). Untuk sarjana non-sosial yang bertitel drs ada juga, yaitu lulusan Fakultas Kedokteran. Titelnya "drs/dra med", sebelum kemudian menjadi dr (dokter).

Ketika para mahasiwa lulus kuliah --apapun titel yang didapatnya- masih sibuk mencari-cari lowongan pekerjaan danlebih banyak menunggu panggilan (tes tertulis/wawancara) di rumah ,  ia pantas diberi titel "drs/dra", alias "di rumah saja/di rumah aja".

Nah, hari-hari ini banyak orang yang harus bertitel drs. Itu titel (sebutan) tambahan. Padahal mungkin sudah sederet gelar kesarjanaan lain menghiasi nama diri. Mereka yang mampu melakukan "work from home" tentu tidak terbebani dengan tambahan titel apapun. Toh aktivitas, produktivitas, dan income yang terkait langsung dengan urusan "dapur ngebul" tak terkendala sama sekali.

Lain halnya dengan mereka yang dengan kondisi setengah paksa harus tinggal di rumah. Orang-orang yang biasanya bekerja di luar rumah, di pasar dan di berbagai keramaian, menjelajahi sudut-sudut kota, bertugas di jalanan, dan pekerjaan lain. Mereka tak perlu titel.

Tetapi secara umum setiap orang kini bertitel drs/dra. Di rumah saja (drs), atau #dirumahaja (dra).

*

Sebelum ditetapkan istilah atau sebutan baku terkait dengan virus Corona, orang hanya kenal negatif dan positif, serta tertular. Satu lagi pembawa virus. Belum ada ODP, PDP,  dan entah apa lagi itu.

Istilah pun berkembang, pengertian lebih jelas dan terperinci. Kembali ke istilah awal, terutama soal negatif dan positif, sempat dijadikan gurauan. Terlebih dikaitkan dengan imbauan untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Bila selama ini anggota keluarga punya kegiatan berbeda, sehingga waktu bertemu makin sedikit, kini saatnya kumpul seharian. Hitungannya 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Pengaruhnya memang jelas. Semua anggota keluarga negatif dari virus Corona. Kecuali isteri, justru ia yang mungkin tiba-tiba mengaku "positif".

Begitu pengakuan jujur seorang anggota Grup Whatsapp, dan anggota WA lain spontan tertawa riuh. Simpang-siur pembicaraan ala orang dewasa pagi itu pun melebar ke mana-mana.

*

Seorang petani tua yang tinggal di desa suatu hari kedatangan seorang mahasiswa KKN. Ia senang sebab si mahasiswa berniat tinggal beberapa lama. Itu berarti menemani kesendiriannya. Pak Petani yang gagap teknologi itu suatu hari mendapati si mahasiswa asyik di depan sebuah laptop.

"Bikin apa, Nak? Bapak boleh ikut lihat ya?"

"Boleh. Silakan. Saya sedang menyiapkan laporan KKN," si mahasiswa menjelaskan. "Kalau saya sudah selesai bikin laporan nanti, boleh bapak lihat-lihat youtube lagu-lagu kesukaan bapak. . . . . !"

Pak Petani duduk di seberang meja tamu tempat si mahasiwa bekerja. Ia seperti berpikir, dan ingin bertanya sesuatu, tapi ragu-ragu. Tiba-tiba ia nyeletuk: "Apa benar komputer dapat tertular virus, Nak? Bapak pernah dengar seperti itu. Apa komputer juga bisa kena flu atau demam, dan mati?"

Masih penuh dengan rasa penasaran, Pak Petani itu bertanya lagi dengan suara ragu-ragu: "Virusnya bisa menular ke orang ya, Nak?"

Si Mahasiwa tidak menjawab. Ia hanya tertawa. Tapi ia tidak menjelaskan mengapa komputer bisa terkena virus. Ia hanya tahu, nama virus di komputer pasti bukan Corona. Sebagai jawaban ia buru-buru mencari lagunya Didi Kempot: Pamer Bojo. Dan seketika kakek yang belum lama ditinggal lari isterinya itu ikut menyanyi dengan suara sumbang tapi penuh semangat:

Dudu klambi anyar sing nang njero lemariku / Nanging bojo anyar sing mbok pamerke neng aku
Dudu wangi mawar sing tak sawang neng mripatku / Nanging kowe lali nglarani wong koyo aku

*

Para "drs dan dra"harus kenal betul aneka virus. Bukan hanya vius komputer, tetapi terlebih virus Corona, penyebab Covid-19. Jangan sampai terpapar, alias positif. Tetapi kalau isteri yang positif (lagi) ya disyukuri saja.

Kelak bila lahir perempuan beri saja nama Padmi (varian dari Pandemi), Virona (kependekan dari virus Corona), atau Fairusi (varian kata virus). Kalau lahir lelaki beri nama Slamet, Bejo, Bagio, Untung, atau Raharjo, yang berarti selama, bahagia, dan beruntung, karena terhindar dari paparan Covid-19.. . . . heheheh.  

Nah, itu saja. Semoga kita masih punya banyak rencana beraktivitas untuk tidak bosan dan tetap bahagia #dirumahaja. Selebihnya teruslah khusuk berdoa dan bertawakal. Tetap sehat sampai wabah musnah, sampai pandemi melarikan diri, dan sampai Covid menjerit kiprahnya kian terjepit.

Terima kasih sudah berkenan singgah. Semoga bermanfaat. Wassalam. ***

Sekemirung, 12 April 2020

Gambar

Tengok juga tulisan menarik sebelumnya:

suara-mirip-jeritan-kuntilanak-di-imogiri-fakta-atau-hoaks

ali-baharsyah-tukang-menghina-dan-mesum-tidak-untuk-ditiru

jumat-ketiga-absen-jumatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun