Kelinci, ya itulah hewan kesayanganku. Kelinci jenis lokal saja. Kala itu aku masih kelas 3 SD. Bapak panen tembakau, dan hasilnya lumayan. Selain membeli kebutuhan untuk keperluan sehari-hari, Bapak juga membisa beli radio transistor, dua ekor kambing, dan sepasang kelinci.
Untuk kambing, bapak membuat kandang. Sedangkan untuk kelinci dilepas saja di bawah para-para tanaman waluh yang rimbun. Rumput dan tanaman apa saja di bawahnya menjadi pakan bagi kelinci.
Sedangkan pakan untuk kambing mengharuskan kami mencabit rumput. Kebetulan waktu itu bapak menyewa tanah, untuk bertani di sela waktu tugasnya. Daun-daun tanaman jagung, singkong, dan ubi rambat cukup disukai kambing. Selebihnya dicarikan rumput. Masih mudah mencari rumput waktu itu.
Pulang dari ladang biasanya aku menyunggi (meletakkan beban di atas kepala) keranjang besar isi pakan kambing. Hampir selalu begitu. Aku suka saja. Tidak merasa berat. Sampai suatu hari Ibu memegang ubun-ubunku terdapat cekungan, bekas keranjang bambu. Ibu bilang ke bapak agar isi keranjang tidak terlalu penuh dan berat.
Bila hari hujan, atau kemarau panjang, mendapatkan pakan kambing tidak mudah. Aku tidak bisa membantu mencari pakan. Bapak terpaksa mengumpulkan daun-daun dari pohon sengon, daun pisang, daun belimbing, daun waluh, dan entah daun apa lagi. Mungkin karena kelaparan kambing pun memakan hijauan yang tersedia.
Itulah hewan kesayanganku pada masa kecil. Aku dan adik-adikku bermain-main dengan kelinci dan kambing. Bapak juga memelihara ayam dan dilepas tanpa kandang. Sering peliharaan itu keluar halaman rumah, dan dicuri orang.
*
Punya hewan peliharaan memang perlu hobi. Ada kesenangan, ada kemauan meluangkan waktu untuk mengurus maupun memberi pakan. Bila tidak, piaraan itu akan terlantar, dan itu berarti sebuah penyiksaan.
Tugas kantor yang membuatkan tidak merasa terlalu asyik dengan hewan piaraan. Mendengarkan suara burung perkutut dan puter aku suka. Menenteramkan dan karenanya dapat untuk mengenang kehidupan masa lalu. Tapi agaknya aku lebih suka mendengarkan suara-suara itu dari rumah tetangga. Sebab aku bisa menikmatinya tanpa perlu bersusah-payah mengurusnya.
Dan itu yang tanpa sadar kulakukan. Menelantarkan. Cuma dua ekor burung perkutut dan seekor puter yang kumiliki. Memang tidak harus setiap hari membersihkan kandang dan memberi pakannya. Itupun tak terurus. Isteri yang selalu mengingatkan, bahkan dengan solusi terbaik.
"Kalau memang tidak bisa mengurus sebaiknya diberikan orang. Pilih yang suka burung perkutut. Atau, kalau tidak, lepaskan saja. biar mereka hidup bebas mencari pakan sendiri. Bapak tidak berdosa karenanya...!"
Tanpa mengusulkan dua kali, pilihan kedua itu yang kulakukan. Mereka kulepas liarkan. Mudah-mudahan mereka mampu bertahan. Tidak justru ditangkap orang, dan kembali dikurung dalam sangkar yang membelenggu.
*
Terkait dengan hobi memelihara burung, tiga saudara laki-lakiku punya. Rata-rata lebih dari lima ekor burung oceh-ecehan dengan suara nyaring dan ribut. Seorang kakak bahkan pernah punya belasan ekor burung aneka jenis dari berbagai daerah di Indonesia.
Tugas kantornya yaitu keliling pelosok memungkinkannya menyalurkan hobi memelihara burung. Hingga suatu ketika mampu mengembang-biakkannya. Hobi tapi menghasilkan. Dilakukannya pun di sela-sela kesibukan kantoran.
Ketika merebak penularan flu burung (dan unggas) sempat khawatir, jangan-jangan hewan piaraanitu membawa wabah. Alhamdulillah tidak. Kakak dan keluarganya baik-baik saja.
Bila ke rumahnya, aku kadang terheran-heran dengan harga burung yang baru dibelinya. Mahal, belum lagi untuk pakan, dan pemeliharaannya. Kakak pernah memelihara banyak jenis ikan di akuarium. Lalu punya aneka tanaman hias, bahkan punya kios jual-beli tanaman hias. Tetapi memelihara burung berkicau tetap sebagai hobi utama, sampai sekarang pada usianya jelang 70 tahun.
*
Pelajaran apa yang didapat dari hobi memelihara hewan kesayangan? Ada banyak, diantaranya memupuk rasa empati pada sesama mahluk Tuhan, bersamaan dengan itu belajar bertanggungjawab, sanggup meluangkan waktu, berkorban uang, dan menghindarkan diri dari hobi lain yang tidak/kurang baik.
Sebab ada banyak hobi, terlebih pada masa muda, yang tidak selalu baik: ngebut-ngebutan di jalanan umum, bergaul dengan teman sebaya yang punya hobi buruk (minum minuman keras, bersikap premanisme, berjudi kartu hingga mesin judi, dan banyak hal lain), dan membebani orangtua dengan berbgai permintaan yang memberatkan keuangan mereka.
Orang yang punya hobi memeliharan hewan kesayangan biasanya tahu diri dengan kemampuan ekonominya sendiri. kapan ia boleh memelihara yang lebih mahal, dan paling mahal. Yaitu ketika sudah punya penghasilan sendiri yang memadai. dan tidak mengganggu keuangan keluarga (bila kemudian sudah berkeluarga).
Dari nilai manfaat itu tentu sangat baik setiap orang tua selain memperkenalkan aneka jenis hewan (dengan pergi ke kebun binatang setiap periode tertentu), dan mengajari cara berkasih-sayang dengan hewan kesayangan. Tidak harus memelihara hewan-hewan buas dan ekstrim (yang membahayakan pemilik dan keluarganya).
*
Kembali ke tema, kalau ditanya hewan kesayangan apa yang pernah kumiliki? Jawabnya ke masa kecil: kelinci. Aku bisa ngobrol dengannya, mengejar dan dikejar, mengangkat kedua telinganya yang panjang untuk dimasukkan ke dalam pagar. Agar tidak merusak tanaman lain.
Kelinci mudah berkembang biak, dan wajahnya yang imut serta larinya yang menggemaskan, sangat menghibur bagi anak-anak. Pakannya pun mudah. Tinggal sediakan tanah cukup luas dan tidak tertutup semen dengan sejumlah tanaman ada di dalamnya (tanaman sekaligus untuk pakan).
Untuk yang tidak suka kucing, apalagi anjing, maka memelihara kelinci dapat menjadi solusi. Tentu bila punya halaman cukup luas. Â Orangtua yang hobi memelihara hewan akan menurunkan kesukaan itu pada anak-anak. Dan hobi itu penting untuk mengiringi tumbuh-kembang anak.
Itu saja. Sekadar cerita pengalaman silam. Kini bagiku ingat kelinci serupa mengenang masa kecil. Mudah-mudahan bermanfaat. ***Â
Sekemirung, 18 Maret 2020
Baca juga tulisan sebelumnya:
nikita-mirzani-menyumbang-rp-100-juta-bantu-atasi-virus-siapa-menyusul
masjid-dan-upaya-menghambat-penularan-covid-19
jangan-ada-lagi-pasien-covid-19-kabur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H