Pedagang pertama menjadi contoh orang yang mengejar keakhiratan. Ia senang mendapatkan keuntungan sedikit asalkan pembeli puas. Sedangkan pedagang kedua mengejar keduniawian dengan berbagai cara.
Padahal seberapapun keuntungan dan harta-benda yang diperoleh di dunia ini, ibaratnya seluruh dunia dengan segala isinya digenggaman, tidak dapat untuk menebus harga keakhiratan. Oleh karena itu betapa merugi sikap pedagang kedua itu.Â
*
Nyatalah hidup ini penuh dengan hitung-hitungan. Terlalu suntuk menghitung dunia akan kecewa. sebaliknya mereka yang sibuk menghitung-hitung akhirat insya Allah mendapatkannya, juga mendapatkan keuntungan dunia meski secukupnya saja.
Itu sebabnya tidak rugi orang yang terus melakukan hitung-hitungan terkait dengan ibadah, yaitu penghambahan umat kepada Sang Khalik. Ditambah lagi hitung-hitungan muamalah, yaitu amal-perbuatan kepada sesama manusia maupun sesama mahluk Allah. Untuk muamalah tidak perlu diungkit dan dipamerkan kepada siapapun. Cukup diri sendiri saja yang menghitung, lalu lupakan.
Dalam bahasa agama ada istilah dihisab, yaitu diperiksa secara sungguh-sungguh, dan perhitungan antara kebaikan dan keburukan.
Sumber
*
Pak Engkus mungkin pada waktu mudanya kurang berhitung, atau justru sejak muda sudah rajin berhitung. Pada masa tua pun ia tetap berhitung. Dan sebaik-baik orang hidup memang yang pandai berhitung, dan yang baik pada akhirnya. Orang menyebut itu sebagai husnul khatimah.
Mungkin saja pak Engkus pada masa lalu, masa kanak-kanak dan muda, terlalu mengejar dunia. Baru setelah tua mencari akhirat dengan sungguh-sungguh. Mungkin saja sejak balita sudah istiqomah di jalan Allah. semua harus bermuara pada akhir yang baik. Tidak tertipu oleh bujukan setan yang  terkutuk. Â
Jadi meskipun terbungkuk-bungkuk dan tersuruk-suruk Pak Engkus tetap berjalan setiap hari lima kali. Bukan ke mana-mana, melainkan ke masjid. Untuk menunaikan salat berjamaah di masjid, ber'itikaf, berdzikir, bersolawat, bersilaturahim dengan jamaah lain, berbagi cerita hikmah, dan berinfak-sadakah.
Jemarinya yang terus menghitung mungkin menyukuri panjang usianya, menangisi masa lalu yang gelap, bersyukur masih diberi kesempatan bertobat, dan berharap akhir yang baik.