Pak Engkus terlihat bolak-balik lewat depan pangkalan ojek. Menyusuri kios-kios dan tanah lapang, dan terus berjalan ke Utara. Kalau dihitung sekitar lima kali sehari. Padahal usianya sudah sepuh, berjalan terbungkuk-bungkuk, dan tampak kepayahan membawa badannya. Sementara matahari panas terik, angin bertiup kencang siang itu.
Orang-orang berkomentar di pangkalan ojek, mengapa tidak di rumah saja. Sementara orang-orang di kios prihatin mengapa tidak naik sepeda motor, setidaknya sepada onthel. Mau kemana sebenarnyua Pak tua itu? Ada keperluan penting apa hingga mau tersuruk-suruk begitu rupa?
Seorang pengojek bahkan mengamati jari-jari tangan Pak Engkus bergerak-gerak, seperti orang sedang menghitung, tapi menghitung apa? Menghitung kedipan mata, tarikan nafas, atau menghitung langkah?
*
Hidup ini memang penuh dengan hitung-hitungan. Apapun dihitung, dikalkulasi, dijumlahkan-dikurangi-dibagi-dikalikan, dan seterusnya. Berbagai perhitungan itu menggunakan ukuran-takaran maupun standar tertentu. Ada ukuran waktu, ukuran ruang, ukuran kecerdasan-kesuksesan-kemakmuran dan banyak lagi.
Yang paling banyak kita hitung terutama adalah umur, penghasilan atau gaji, pengeluaran dalam sebulan, dan hal-hal lain masalah sehari-hari.
Orang tidak mau berlaku "besar pasak daripada tiang", selain itu orang cenderung untuk terus menabung agar suatu ketika dapat mewujudkan impian membeli barang berharga, berwisata dan melakukan perjalanan jauh, melaksanakan ibadah haji atau umroh, membangun masjid, dan berbagai pemenuhan lainnya.
Dengan berhitung kita belajar mencari keseimbangan antara kepentingan duniawi dengan kebutuhan akhirat. Â Pemahaman agama menasihatkan, orang yang mengejar duniawi saja hanya akan memperoleh apa yang dikejarnya. Sebaliknya orang yang mengejar akhirat akan memperoleh akhirat sekaligus duniawi.
Mengapa demikian? Sebab duniawi sifatnya relatif. Orang yang membanting tulang siang-malam dan akhirnya sukses menjadi orang kaya raya belum tentu lebih bahagia dibandingkan yang bekerja ala kadarnya dan memperoleh rezeki secukupnya agar bisa membayar kontrak rumah. Namun, ia bekerja dan berjuang keras untuk mendapatkan akhirat yang terbaik, yaitu surga. Â
Contoh sederhana, pedagang jujur semata karena mengejar keakhiratan maka ia akan mudah dikenali dan menjadi langganan banyak orang. Sebab harga barang-barang yang dijualnya lebih rendah dibandingkan dari pedagang lain, produknya berkualitas terbaik, pelayanannya ramah.
Sementara itu untuk pedagang yang mengeruk keuntungan sebanyak-banyak sering tidak peduli terhadap kualitas produk, Â mengecewakan pembeli, dan pelayanannya pun asal-asalan.Â