Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasihat Lama "Ojo Gumunan" untuk Solusi Kesenjangan

23 Februari 2020   00:35 Diperbarui: 23 Februari 2020   00:35 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rumah tak layak huni (Foto: Dok. KemenPUPR)

Bukankah seperti dikhotbahkan pada setiap Jumatan, pada salat Idul Fitri dan Idul Adha, maupun dalam ceramah-ceramah umum lainnya, bahwa ibadah ritual setiap muslim harus dibarengan dengan ibadah sosial. Upaya menegakkan salat, harus diiringi dengan membayar zakat.

Bahwa "takbiratul ikrom" sebagai wujud menyembah kepada Allah SWT dalam permulaan setiap salat, dibarengan dengan ucapan "Assalamu 'alaikum"  sambil menoleh ke kanan dan ke kiri sebagai bentuk keharusan melakukan ibadah sosial kepada warga sekeliling.

Jadi apa yang luar biasa dari imbauan agar orang kaya menikahi orang miskin?

*

Masih terkait dengan ibadah ritual, tiap tahun saat musim haji maka berbondong-bondong orang menuju Mekah Al Mukaromah. Untuk yang pertama pergi haji, dan memang kewajibannya hanya sekali, teruskan saja tidak masalah. Tetapi berapa banyak yang sudah melaksanakan haji ke dua, ketiga, dan seterusnya.

Alakah lebih baik nilai ibadahnya manakala biaya untuk haji pada hitungan kedua dan seterusnya itu dijadikan amal jariah kepada warga sekeliling yang tidak mampu. Alangkah indahnya orang yang berencana pergi haji yang kedua, setelah uang terkumpul dan hendak melunasi biaya haji sekian puluh juta rupiah tiba-tiba terbetik dalam pikirannya untuk membantu orang lain saja.

Ada cerita unik pada zaman Nabi, yaitu ada seseorang yang tidak jadi berangkat haji, lantaran biaya yang telah dikumpulkan untuk haji digunakanuntuk membantu pembiayaan tetangga yang sakit. Dan ternyata dari seluruh Jemaah haji tahun itu justru ia yang mendapatkan haji makbrur.

Bukan hanya haji, tetapi juga umroh. Ada yang hampir setiap tahun berangkat, dan terus berangkat. Mungkin cita-citanya belum kesampaian, yaitu meninggal di tanah suci. Tapi bila prinsip "ojo dumeh" dipraktikkan maka biaya yang ada mestinya dapat dimanfaatkan membantu tetangga. Misal untuk modal usaha kecil-kecilan, untuk pendidikan anak dari keluarga tidak mampu, untuk membiayai pelatihan kerja tetangga, dan seterusnya.

Alangkah indah hidup ini bila kekhusukan ibadah ritual dibarengi dengan sikap ringan tangan dalam berbagi untuk mewujudkan ibadah sosial. Solusi kesenjangan dapat dimulai dari sana.

*

Bila sudah demikian adanya maka sebenarnya tugas Pemerintah tidak terlalu sulit dan rumit seperti sekarang ini. Mengapa demikian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun