"Apapun dalihmu. Kamu hanya pekerja kasar, buruh. Gaji kecil, dan masa depan tak pasti. Kamu boleh berangan-angan, tapi jangan keterlaluan. Jatuhnya bakal sakit sekali, aku pernah merasakannya. . . . Â !"
"Aku curiga, kamu juga naksir cewek itu. . . ."
"Sebagai karib, aku hanya mengingatkanmu. Tidak ada maksud  lain!" ucap Permana bersungguh-sungguh. Wajahnya serius, mencemaskanku. Tapi aku tak percaya.
Karier Permana di perusahaan sangatlah cemerlang. Mengawali kerja sebagai buruh rendahan sepertiku, ia cepat dikenal dan dipercaya orang. Penampilan, suara, pendekatan, dan kecerdasannya mumpuni. Aku jelas kalah jauh, dan tak mungkin mengikuti jejaknya.
Hingga akhirnya peristiwa itu terjadi. Aku terpojok. Kebakaran besar terjadi tak diduga-duga di lingkungan perusahaan. Dalam waktu hanya dua jam semua fasilitas kantor ludes. Kerugian sangat besar. Semua orang memastikan penyebabnya dari api alat las listrik yang ada di tanganku.
Tidak ada saksi, tidak ada bukti-bukti yang mampu membelaku. Tidak ada yang bisa membantuku mengelak dari tuduhan itu. Dan aku merasa menjadi korban.
*
Suatu pagi kudengar seseorang berbicara dengan Ibu pemilik kontrakan. Tidak terlalu jelas di telingaku. Seseorang menanyakan sesuatu dan menyebut namaku.
Tubuhku terasa dingin, mengkerut. Di kepalaku muncul kekhawatiran mendadak: polisi. Agaknya urusanku harus berakhir di kantor polisi juga. Dugaanku ini terkait penyelesaian urusan klaim asuransi.
Pintu kontrakan diketuk seseorang dari luar beberapa kali. Aku harus segera membukanya. Takut mereka mendobrak . "Jamin. . . . Jamin. Bukalah pintunya. Ada seseorang yang ingin bertemu. . . .!" seru Ibu pemilik kontrakan dari balik pintu.
Aku terbatuk-batuk. Biar orang di luar tahu, aku masih hidup. Tidak melakukan tindakan nekat karena rasa putus-asa. Cepat aku mengganti sarung dengan celana panjang, lalu mengenakan kemeja. Sejak kemarin belum mandi, aku tak ingin digelandang polisi dalam kondisi yang sangat menyedihkan.