Sesempit ini duniaku sekarang, seluas kamar kontrakan tanpa parabotan. Selain ransel tua berisi beberapa potong pakaian, ada kasur dan bantal kapas tipis. Selebihnya gelas kopi hitam yang mengering, sandal jepit, dan tembok dengan cat hijau kusam mengelupas.
Aku terkurung di dalamnya. Seminggu, atau dua minggu, aku lupa. Nasib tragis tiba-tiba menghampiri, tanpa memberi firasat apapun. Itu sebabnya kini aku harus menekuri duniaku.
"Kamu dipecat, Min. Mulai hari ini. Jadi cepat urus sisa-sisa hakmu di perusahaan ini. Tandatangani surat persetujuan bahwa kamu mengundurkan diri. Cara itu agar urusanmu tidak berkepanjangan. Kalau urusan ini sampai dibawa ke Polisi, kamu bisa lama mendekam di penjara. . . . !" ucap Bos dengan suara lunak, tapi tegas, dan terdengar sangat keras di telingaku.
"Dipecat, Bos?" tanyaku terjingkat.
"Ya. Itu pilihan terbaik untukmu."
"Ohh, Bos? Tapi saya tidak punya salah. Saya tidak melakukan kecurangan apapun. Selama ini saya bekerja rajin, tekun, dan mentaati semua perintah Bos. Saya bahkan sudah bekerja di perusahaan ini hampir sepuluh tahun. Teganya Bos pada saya. . . . . !" ucapku dengan suara mengiba-iba.
Lelaki tinggi-besar berkumis melintang itu bergeming. Wajahnya memerah oleh marah, suaranya bergetar. Tidak ada sedikit pun nada kasihan di situ. Â Aku terpekur, menyerah. Â Â
Daripada mendekam di dalam penjara, lebih baik mendekam di kamar kontrakan ini. Apa bedanya? Setelah diikurangi utang sana-sini, sisa gajiku menipis.
Sekeluar dari mess aku mencari kontrakan yang paling murah. Dan kudapati kamar kontrakan ini. Ingin berpikir dulu, merenung dan meredakan kemarahan, sebelum mencari pekerjaan lain.
Dalam kondisi ngantuk, antara tidur dan jaga, suara Permana terngiang-ngiang di telinga, mengingatkanku. "Hati-hati memacari anak Bos. Nasibmu ada di tangannya. Kamu bisa kapan saja dipecat, kembali jadi pengangguran. Berhati-hatilah, dan lebih bagus pikirkan kembali langkahmu. . . . .!"
"Bukan aku yang suka dia, tapi dia yang mengejarku. . .!"