Berita bohong, kosong, dan melompong beredar di mana-mana, sampai jauh, sampai ke lubuk hati paling dalam. Terlebih bila hoaks itu memang sangat berkenan di hati. Sangat "aku banget", dan karenanya senang luar biasa dengan info semacam itu.
Lalu dengan serta-merta dibuatlah komentarnya, ditulislah opininya, bahkan dibuatkan meme, dan seterusnya. Pihak-pihak yang tekait dengan hoaks itu lantas dihina-dilecehkan-dicaci maki dan aneka tindakan lain yang disangka sangat baik sebagai pembelajaran.
Padahal apa yang dilakukan itu menggunakan referensi dan informasi hoaks.
*
Masih ingat drama beberapa babak para Opera Oplas dengan pemeran utama Ratna Sarumpaet (mohon maaf saya sering salah menuliskannya menjadi Sarumpait)? Heboh luar biasa para penonton, sorak-sorai membahana, suitan dan tepuk tangan tak henti-henti ditambah standing ovation segala. Luar biasa pokoknya. Tapi ternyata hoaks.
Malu, kecewa, sedih dan entah parasaan para pendukung opera sabun itu. Sebab dengan masih bergaya teatrikalnya Ratna Sarumpaet mengungkapkan kebohongannya. Bohong tapi tidak merasa besalah, bahkan ketika sudah keluar dari penjara. Jadi, entah siapa yang salah, atau harus dipersalahkan, bahkan  kemudian siapa yang menjadi salah-kaprah sedemikian parah. Tidak ada. Semua buang badan, buang muka, dan belakangnya buangkrut, alias kalah.
Masih ingat ya? Ingat-ingat jangan sampai peristiwa serupa terjadi lagi. Opera oplas Ratna hanya satu bagian kecil dari drama seru Pilpres 2019 yang berakhir rusuh, ttetapi dengan happy ending: si kalah tersenyum manis dalam rangkulan si menang.Â
Sudah barang tentu opera lain sedang dalam proses, entah apa nanti ceritanya. Kalau dalang dan penyandang dananya masih orang-orang yang sama, bukan tak mungkin urusan plot cerita  dan berbagai karakter di dalamnya masih orang-orang lama pula, serupa dengan opera yang pernah dipanggungkan sebelumnya.
*
Kembali ke soal hoaks. Ada semacam hobi berat bagi orang-orang tertentu untuk buru-buru dan cepat-cepat menanggapi dan mereposting apapun yang bombastis. Simpang-siur tak pasti omongan orang di media sosial, di grup WA, youtube, dan twitter; bahkan bisik-bisik pun dapat menjadi santapan lahap media massa dan media sosial.
Buntutnya kemudian menjadi viral, dan akhirnya baru terkuak, itu semua ternyata hoaks. Soal pengobatan ini dan itu dengan herbal, misalnya.Â
Untuk obat yang gawat-gawat, yang perlu biaya mahal bila berurusan dengan dokter dan rumah sakit, yang fatal dan menjadi penyebab kematian: ternyata caranya mudah saja. Hanya perlu daun anu, biji anu, buah anu, dan seterusnya. Lalu rebus, kemudian minum secara teratur. Hasilnya ditanggung cespleng. Ternyata hoaks.
Bagaimana perasaan dan pemikiran mereka (anggaplah kita tidak termasuk di dalamnya) yang ikut menyebarluaskannya. Apakah malu, kapok, lebih hati-hati dan teliti, atau tidak peduli? Rasanya hanya sedikit orang yang menyebarluaskan hoaks lalu minta maaf setelah tahu apa yang disebarkannya bohong belaka. Banyak yang sekedar terkejut, tapi tidak mau mengaku telah melakukan kesalahan. Tragis. Miris.
Hoaks mutakhir terkait dengan virus Corona seperti disebutkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, menjadi penyebab penolakan warga Natuna terhadap WNI dari Wuhan yang rencananya dievakuasi di sana selama 14 hari ke depan. Hoaks sudah sedemikian merebak dan merajalela. Perannya menyebarkan pesimisme, ketakutan, kebencian, penyesatan, pemutar-balikan fakta, dan pembodohan. Siapakah para pembuat hoaks itu? Ketidaksengajaankah? Terkoordinirkah? Hendak mengguncang kedamaian negeri inikah?
*
Tulisan ini sekadar untuk mengingatkan kita semua bahwa memberitahukan hal-hal baik itu baik sangat baik, bagus, mulia. Dan apalagi dilatari niat baik. Tetapi akan lebih bijaksana bila waspada, hati-hati dan teliti terhadap berbagai referensi dan informasi yang kemungkinan punya maksud-maksud jahat dibalik itu.
Waspadai orang-orang yang mengaku orang baik, bermaksud baik, dan berbuat tampak baik; padahal sebenarnya sedang memulai membuat keburukan dan keonaran. Gaya dan siasat lama masih aktual dipakai, rengkuh dulu hatinya maka urusan di belakangnya akan jauh lebih mudah. Kalau orang Jawa (seperti karakter huruf Jawa), di-"pangku" mati. Â Â
Artinya apa? Orang Jawa (dan mungkin kebanyakan orang, apapun suku dan bangsanya) bila diberi kemudahan-kemurahan-kemewahan akan lupa dan kurang waspada, bahwa itu hanya pancingan, bujukan, iming-iming, dan bahkan jebakan.
Konon jatuhnya kerajaan-kerajaan masa lalu ke tangan bangsa asing karena strategi itu: diberi kedudukan, diangkat raja atau jabatan tertentu, lalu duduk manis dengan mendapatkan penghasilan yang sangat memadai. tetapi ternyata rakyatnya diperas habis-habisan oleh si pendatang. Untuk menolak tidak mungkin lagi karena sudah ada perjanjiannya, dan si pendatang itu secara persenjataan jauh lebih kuat. Maka begitulah penjajahan berlangsung sekian abad.
*
Penutup, mari (khususnya para jurnalis dan penulis media mainstream maupun media soaial) menjadi bagian dari warga masyarakat yang tidak memproduksi hoaks, tidak menyebarkannya, tidak memviralkannya, dan tidak mereposting dengan begitu mudah dan cepatnya.
Sekadar saran, bagi yang hobi reposting tulisan orang sebaiknya ubah kebiasaan dengan membuat opini sendiri. Terkait dengan pengobatan atau kesehatan, akan lebih baik kalau sudah mencoba dan merasakan sendiri khasiat bujukan pengobatan gampang, dan apalagi berupa iklan. Bila belum mengalami sendiri lebih baik tidak ikut-ikutan menyebarkan khasiat ini-itu yang entah-entah itu.
Begitu saja. Mulai hari ini (minggu ini, atau bulan ini) mari kita berupaya keras untuk tidak bersentuhan dengan hoaks lagi. Mudah-mudahan penanganan WNI yang kembali dari Wuhan di Natuna, dan secara umum penanganan Virus Corona di negeri ini berjalan lancar, aman, dan sukses.*** 4 Februari 2020
Gambar/Referensi: menkes-tantangan-terberat-tangani-virus-corona-adalah-hoaks Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H