Itu hak bunga untuk layu, mekar setelah sekian waktu, tapi kumbang terlebih kupu-kupu enggan singgah barang sebentar.Â
Aku ibaratkan engkau, dan kepergianmu, pada suatu petang dari Stasiun Tugu.Â
Sejak itu aku lama termangu. alangkah panjang jejak rel, ke mana tiap gerbong seperti terseret-seret laju.
Menjerat nasib ragu-ragu.Tiap jengkal disesaki kenangan untuk lapuk pada menunggu diantara jarak hatiku dan hatimu.
Adakah nada indah yang tersampir pada dawai gitarmu, yang melantun dan sesekali melenting binal sedemikian sengit menghunjam ke lubuk hatiku? Kutanya engkau, ini sambut pilu entah yang keberapa.Â
Dan jawabmu serupa lirik lagu tak usai: menunggu itu indah, jika sabar masih ada, jika harap belum juga sirna.
Lagu lama yang nyinyir menampung genang di mata, sedang hari segera tenggelam dirayapi bayang gelap tak bertuan.
Kini setelah nyaris seabad penantian, saat bunga-bunga di padang kembali meranum, begitu warna dan wanginya bergelut sampai ke tepi-tepi penciuman; izinkan aku menyapamu.Â
Dengan reguk di pipi yang berkerut dalam, mata yang berkaca disertai nuansa masa yang jauh tak kembali.
Aku masih rumah yang dulu tempatmu tumbuh, kampung halaman yang ramah menyajikan tarian nafas pedesaan.
Kini makin reyot dan condong untuk entah kelak rebah didera lelah.
Sekemirung, 20 Sept 2019 - 31 Jan 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H