Saat itu ada tetangga di atas genteng rumah sebelah. Rupanya ia sedang memperbaiki letak antena televisi. Namanya Mas Jumali. Ia melihat dari kejauhan apa yang dilakukan Lik Marsidik. Pikirannya menduga-duga. Dalam otaknya segera tergambar tetangga yang sangat pelit dan lama hidup menduda itu sedang menanam harta karun. Dilihatnya pula gagang cangkulnya patah.
Tak lama kemudian Mas Jumali muncul di balik pagar rumah Lik Marsidik. Ia menenteng sebuah cangkul tua.
"Wah, kebetulan sekali, Mas Jumali, datang. . . !" ujar Lik Marsidik dengan nada gembira.
"Kebetulan? Ohh, saya juga kebetulan sekali. Biasanya pintu rumah selalu tertutup rapat. . . !" ucap Mas Jumali segera melancarkan siasatnya.
"Ya, kebetulan. Cangkul itu. Lik perlu tuh. . . . Â !"
"Oh, tentu saja. Kita 'kan sudah lama bertetangga. Harus tolong-menolong dong. Jangan suka pelit. Nanti hartanya tidak berkah. . . . . hehehe!"
"Sudah. . . . sudah. Tidak perlu ngelantur ke mana-mana. Cangkul itu. . . .!"
"Wah, kebetulan pagi ini beras di rumah habis. Sayur dan lauk tidak punya. Kalau tidak keberatan pinjami saya uang dua puluh ribu saja, Lik. . .!"
Lik Marsidik hendak mengelak. Tapi ia butuh cangkul. Maka dengan wajah suram ia penuhi juga permintaan itu. Dari dompet ia keluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Sedangkan Mas Jumali mengulurkan cangkul yang dibawanya. Tidak ada percakapan lagi kecuali perjanjian. Uang akan dikembalikan kala mengambil cangkul.
*
Dua hari kemudian Bu Padmo datang ke rumah Lik Marsidik. Wajahnya merah, tampak didera marah. Ia berdiri di depan pagar dan berteriak memanggil. Membuka pagar begitu saja, masuk halaman dan berdiri di teras, bersiap melabrak pemilik rumah.