Setiap pagi kuhitung selalu, jeda yang kutempuh dalam nyenyak tidur, sebelum kemudian Subuh membangunkan tubuh, juga ruh untuk kembali melayari rukuk dan sujud. Detik demi detik, kedip mata, Â hembus nafas, dan bahkan degub jantung yang menanjak-menukik sejak dulu. Melangkah kaki menelusuri rintang waktu begitu jauh.
Hasilnya, absurd. Tak terhitung, dan tak terhingga, dan aku menyerah, hingga pagi berikutnya tak perlu berpayah menghitung, lalu menggantinya dengan rajin bersyukur. Seperti disuratkan, tak akan mampu kau hitung nikmatNya, jelas Pak Ustadz, karena itu apa yang mesti kau dustakan? Tidak, tentu saja tidak. Mana berani aku berbuat seonar itu?
Aku cuma heran, pagi ini, mengapa tiba-tiba Desember. Â Kesalahan apa gerangan yang telah kulakukan hingga sedemikian laju hari demi hari memacu jarak usia menjadi kian sempit ini? Aku ragu bakal tiba juga akhirnya nanti pada tahun baru. Coba ikutlah sedikit memikirkan, apakah masih ada senggang tersisa sedangkan ketiba-tibaan begitu bengis melabrakku?Â
Dan subuh ini melenggang lengang, dan mendung melanglang, dan raga ini harus terus berjaga di gigir liang untuk mana tahu tiba-tiba harus menyerah, dan terguling ke dalamnya. Tiba-tiba semua hal menjadi masa lalu, dan aku terpaku pada gugup, pada letih, pada ilalang yang terus meninggi menutupi gunduk tanah tanpa nisan di atasnya. ***
Sekemirung - Cibaduyut, 1 - 30 Des 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H