Tiap orang punya hal-hal unik, dan beda, mungkin mengherankan , dan menyenangkan untuk dikenang. Demikian juga Jeihan. Nama lengkapnya Jeihan Sukmantoro. Dalam usia 81 tahun kemarin (Jumat, 29 November 2019) Jeihan mengembuskan nafas terakhir.
Satu lagi pelukis senior berpulang, dengan membawa segenap kepiawaiannya dalam menyiasati kehidupan, dan terlebih mumpuni dalam kesenimanannya hingga akhir hayat.
Ia meninggal di studio lukisnya di Jalan Padasuka , Kota Bandung. Jeihan diketahui sudah lama terbaring sakit akibat komplikasi penyakit.
Penulis meski sepintas punya cerita perjumpaan dengan beliau. Waktunya sekitar 10 tahun silam, dan terkait dengan aktivitas saya sebagai jurnalis televisi.
Pada beberapa momen meliput kegiatan pameran lukisan yang digelarnya, serta ketika membuat profil dirinya. Dan pada kesempatan lain melihat langsung proses melukis. Juga satu kesempatan mengikuti acara yang khusus dibuatnya untuk para jurnalis.
Objek Perempuan
Jeihan melukis dengan cara yang unik. Kecepatan dengan goresan kasar, dan dengan warna-warna dasar yang polos mencari salah satu ciri khasnya. Selain tentu saja obyek lukisan: perempuan (kebanyakan perempuan muda), dalam posisi duduk  atau berdiri, tangan menjuntai, rambut tergerai, dan mata bolong (pitam pekat).
Warna bisa apa saja, tapi kontur tetap hitam.
Seperti pekerja kantoran, Jeihan punya waktu tetap untuk melukis. Setelah berbagai urusan pagi selesai, dan bila tidak ada kegiatan yang terkait dengan urusan kesehatan/medis, maka seorang asisten harus segera menyiapkan piranti untuk melukis. Kanvas besar, kaleng-kaleng cat warna-warni, aneka ukuran kuas, dan tentu saja seorang model.
Mengenai model untuk dilukis bisa siapa saja, asal perempuan. Â Mungkin perlu meja dan kursi, tetapi benda apapun di sekeliling model tak pernah ada dalam lukisan Jeihan.
Fokus pada sosok perempuan, dengan sekegenap ekspresinya. Mungkin sedang tersandar santai, tengkurap, duduk menyamping, atau berdiri saja dengan posisi kedua kaki maupun tangan tertentu.
Setelah seorang model siap, dan beberapa saat Jeihan mengamati, lalu kuas dan kaleng cat dipilih --sebagian besar warna hitam-, secepat itu lukisan pun dibuat. Kuas besar, seperti kuas cat tembok digunakan menyamping. Begitu saja sosok si model terbentuk.
Lalu beberapa bagian kanvas dilabur rata, selebihnya dibiarkan kosong untuk kemudian diisi warna lain.
Dengan berkain sarung, kaos oblong putih, berkacamata lebar, dan rambut memanjang hampir menutup telinga, Jeihan berkonsentrasi penuh dengan lukisannya.
Dahi berkerut-kerut, mata menyala, dan nafas tak beraturan memperlihatkan ketergesaan dalam menumpahkan gagasan. Namun, pada saat lain santai saja, sambil ngobrol, atau berkomentar ini-itu mengenai situasi kekinian.
Serasa dalam seketika sebuah gambar utuh tergelar. Coretan rambut, wajah, tangan, badan, dan kaki segera muncul di kanvas. Kuas berganti ke ukuran lebih kecil, lalu untuk detil mata-alis-bibir digunakan kuas paling kecil.
Bidang kanvas yang masih kosong segera dilabur warna yang sama, atau berbeda. Sama cepat, tegas dan rata, dan selesai. Tidak sampai satu jam kanvas ukuran 70 x 90 cm atau bahkan 140 x 140 cm selesai dikerjakan.
Jeihan melihat dari kejauhan, lalu membenahi beberapa detil. Kondisi kesehatan mempengaruhi cara dan gayanya dalam melukis.
Harga sebuah lukisan Jeihan pernah mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Kalau tidak melihat sendiri mungkin orang tidak percaya bahwa proses pembuatannya begitu cepat, instan, dan tanpa pikir panjang.
Jeihan melalui cerita panjang dan berliku, sulit dan mempihatinkan, sebelum kemudian menemukan orisinalitasnya itu.
Ambang Waras
Perjalanan panjang dalam kehidupan, dan terlebih aktivias kesenimanannya, membuat seorang budayawan Jakob Sumardjo menggambarkan Jeihan sebagai sosok yang berada pada ambang waras dengan gila.
"Jeihan, Ambang Waras dan Gila" judul buku yang ditulis Jakob Sumardjo mengenai Jeihan. Buku itu serupa sebuah biografi, tetapi dengan cara penulisan yang meluas.Â
Menyangkut sejarah, budaya, filsafat, kejawaan, dan berbagai hal lain yang terangkat dari pembicaraan dan pertemuan panjang mengenai kehidupan masa lalu maupun masa kini maestro lukis itu.
KH. A. Mustrofa Bisri dalam kata pengantar  buku tersebut, menyatakan: "Seandainya Jakob Sumardjo sama gilanya dengan tokohnya, Jeihan; atau Jeihan sama warasnya dengan Jacob, mungkin buku ini tidak wujud. Atau kalaupun wujud, tidak akan segila buku ini."
Jeihan Sukmantoro lahir di kawasan kaki Gunung Merbabu, tepatnya di Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, pada 26 September 1938. Ayahnya mempunyai 'darah biru' dari raja-raja Surakarta (Pakubuwanan).
Sedangkan ibunya berdarah keturunan Cina dari Demak (pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa, pada abad 16). Ia anak ke 4 dari 6 bersaudara. Namun, ia terpisah dari saudara-saudaranya karena diasuh keluarga lain.
Ia mulai sekolah pada umur SMP, tanpa melalui SD, dengan sekolah persamaan. Lalu masuk SMA Negeri III Solo, dengan segenap bakat bandel, memberontak, dan mbeling.
Membolos menjadi salah satu caranya mengabaikan kemampuan mengajar para guru. Saat itu ia mulai melukis dan bermain teater, dengan menjadi sutradara, dan membuat majalah dinding. Maka para guru keheranan ketika ia lulus SMA, dan bahkan kemudian mampu berkuliah di Seni Rupa ITB.Â
Selama kuliah dan sesudahnya Jeihan menemukan dunianya, kekhasannya, dan juga kegilaannya yang kian matang dalam berkesenian, khususnya lukis.
Nama Besar
Nama Jeihan dalam jagat seni rupa Indonesia mulai besar setelah berkolaborasi dengan pelukis kondang S Soedjojono dalam pameran bertajuk "Temunya 2 Ekspresionis Besar" pada 4-11 Agustus 1985 di Hotel Sari Pacific, Jakarta.
Ia pernah menyabet dua penghargaan, yakni Penghargaan Perintis Seni Rupa Jawa Barat pada 2006 dan Penghargaan Anugerah Budaya Kota Bandung pada 2009.
Karya Jeihan tak hanya lukisan, tetapi juga patung, grafis, keramik, bahkan puisi. Sejumlah puisi "Mbeling" di majalah musik Aktuil pun menjadi ajang ekspresinya.
Diberitakan harian Kompas, 23 Mei 2013, alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sejak beberapa bulan terakhir diketahui sibuk menyiapkan nisan. Bahkan, ia pergi ke Muntilan, Jawa Tengah, demi memburu pembuat nisan yang sesuai dengan desainnya. (kompas.com)
Melukis Massal
Kedekatan Jeihan dengan awak media diwujudkan dengan acara melukis masal. Pesertanya para jurnalis radio, koran, televisi maupun para penulis lepas, baik daerah maupun nasional. Â Jumlahnya sekitar 20 jurnalis. Mereka berkumpul pada suatu Ahad pagi hingga siang di studionya di kawasan Padasuka, Bandung. Penulis salah satu diantara pesertanya.
Cat disediakan, juga kuas dan puluhan kanvas 40 x 40 cm: para jurnalis dipersilahkan melukis. Tema apa saja, bebas, tanpa ketentuan. Air teh, kopi, dan camilan disediakan. Sambil bersendau-gurau, saling sindir dan komentar, para jurnalis menikmati fasilitas untuk menjadi seniman lukis dadakan.
Siang hari acara melukis selesai. Hasil lukisan boleh dibawa pulang oleh si pelukis masing-masing. Kegiatan itu dibukukan, dibagikan kepada setiap peserta, dan menjadi kenang-kenangan tak terlupakan.
Pada kesempatan lain, dalam suatu pembuatan materi siaran, penulis dan seorang juru kamera  diberi selembar keras HVS dan sebuah ballpoint. Dan kami saling menggambar. Jeihan menggambar kami, sendiri-sendiri; dan sebaliknya kami menggambar sosoknya.
Mengenai tanah kelahirannya, Jeihan sangat antusias bila menceritakannya. Penulis yang juga kelahiran Ampel Boyolali harus kembali mengingat masa lalu untuk meladeni pembicaraannya. Â Masa lalu dengan segenap kenangan di dalamnya selalu menyenangkan untuk dibicarakan dengan kawan sedaerah.
Nah, itu saja. "Lahir, hidup, dan mati itu siklus, sesuatu yang niscaya. Saya harus persiapkan kapan saya pulang," kata Jeihan terkait dengan makam yang telah dipersiapkannya sendiri.
Jeihan Sukmantoro, selamat jalan. Semoga almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Aaamiin. Â *** 30 November 2019 M / 3 Rabi'ul Akhir 1441 H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H