Ada saatnya lilin dinyalakan, bukan untuk  merayaan tawa, atau mengadukan duka. Melainkan karena aliran listrik pamit tiba-tiba, padam, sorot mata pun redup tak sanggup tembusi harap temaram. Sedang senja mengendap perlahan, lalu merayap menuju lubang hitam: gelap.
Saat malam sebenarnya tiap sesuatu seperti berbaring, rebah ke tanah, dan mengambil sikap rukuk lalu sujud, menggenapi pasrah setelah sesiang bergerak dan berlari mencari ke mana berkas terik matahari menebar ke segenap permukaan bumi.
Listrik menjadi sesuatu untuk disyukuri, sebab ada siang di tengah gulita, ada padam, gerak belum usai untuk dituntaskan. Meski karenanya banyak orang pada lupa untuk berbaring, rukuk, dan sujud. Menancapkan dahi pada permukaan waktu, lalu berlari melayari cakarawala tanpa jeda .
Ada saatnya setiap orang mengasah rasa malam, gelap yang menyayat mata dan rasa, hingga tak terasa hari bergulir menepi. Tersaruk aku diantara batu dan pasir bukit ranggas oleh kemarau, meringkas nafas untuk berlari pada perjalanan kian mendaki. Tak ada sesuara melainkan lelap oleh penat.
Dalam lubang terdalam, hari terasa amat jauh dan panjang. Dan mungkin begitu pula kelak bila jumpa alam sepenuhnya padam, terlanjur lalai aku tak cukup berbekal amal. Terang menjadi sisa kenangan, disyukuri, atau justru sesal kenapa dulu tak peduli. ***Â
Sekemirung 4 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H