Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Fiksi Mini FC) Akrab dengan Belut dan Ikan

7 Juli 2019   17:42 Diperbarui: 7 Juli 2019   17:44 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika aku kecil, sekitar lima puluh tahun lalu, aku pernah akrab dengan belut dan ikan.

Dekat rumah ada sebuah sumber air selalu ramai. Orang-orang mengambil air minum, mandi, dan mencuci. Terutama pagi dan sore. Rumah warga masih jarang-jarang dan berjauhan. Tidak semua rumah punya sumur sendiri.

Air dari penampungan maupun bekas mandi dan cuci mengalir ke sungai kecil. Beberapa kali aku dan beberapa teman sebaya mencari belut sana. Hasilnya sangat memuaskan. Beberapa ekor belut yang gemuk cukup memadai untuk dibawa pulang sebagai lauk makan malam.  

Sudah cukup lama kami tidak mencari belut di sungai itu. Suatu hari dua orang teman mengajakku mencari belut ke sana. Kapan? Nanti malam, jawab mereka.

"Hahh, kalian gila? Kenapa harus malam-malam?"

"Kamu akan tahu nanti jawabnya. . .!" jawab si Gendut sambil tertawa, entah benar atau tidak jawaban itu.

Akhirnya kami bertiga berangkat. Seorang teman membawa lampu petromaks, seorang lagi membawa cangkul, dan aku kebagian membawa ember kecil penampung belut. Umurku yang paling muda diantara teman lain.

Sampai di sungai kecil, dengan perasaan takut aku mengikuti langkah dua orang temanku. Mereka bergantian mencangkuli lubang-lubang belut. Begitu cangkul sampai di sarang belut giliranku menangkap dan memasukkan ke dalam ember. Ah, benar saja kata temanku. Seekor demi seekor belut terkumpul di ember.

"Nah, kamu lihat 'kan? Satu lubang ada dua atau tiga ekor belut. Siang hari mereka mencari makan, malam hari berkumpul keluarga. . . . hehehe!" ucap seorang teman seperti hendak membuktikan sesuatu.

Singkat cerita, kami memperoleh banyak belut. Sekitar tiga jam ember kecil yang kubawa penuh.

"Mari kita pulang. Malam ini kita makan besar. . .!" ajak si Keriting.

Kami berjalan beriringan ke rumah salah satu teman. Di sana nanti kami akan membagi hasil buruan kami. Pembawa petromaks berada paling depan. Diikuti pembawa fcangkul, Aku berjalan paling belakang. 

Kami berjalan diantara pematang, dan jalan setapak. Jaraknya cukup jauh. Karena rasa takut tertinggal sesekali aku setengah berlari. Sampai di rumah teman, aku kaget. Apa yang terjadi? Isi ember tinggal separuh. Padahal tadi penuh.

"Gi. . . . kamu buang ke mana hasil tangkapan kita?" tanya si Gendut dengan suara meninggi.

Aku tak bisa menjawab. Bingung.siapa yang mengambil setengah ember belut kami? Aku berpikir keras. Oh, rupanya tanpa setahuku belut-belut itu menjalar ke luar ember. Pasti mereka berceceran di sepanjang jalan. Karuan saja aku jadi sasaran kegeraman teman-teman.  Malam itu aku tidak mendapat bagian belut. Aku merasa bersalah, jadi pasrah saja.

*

Kami dari keluarga besar, selain kedua orangtua ada sembilan anak dari umur balita hingga SMP. Bisa dibayangkan betapa ramai, repot, dan riuhnya keseharian kami. Urusan makan pun tidak berbeda mengaturnya. Dari daging ayam, telur goreng, hingga ikan untuk lauk harus sangat hemat. Untuk menu ikan misalnya, setiap anggota keluarga mendapat bagian tidak pernah utuh. Ada yang ketemu kepala saja, yang lain lambung, dan sisanya kebagian ekor saja. 

Tetapi pernah suatu waktu ikan di piring betul-betul utuh. Kala itu keluarga kami baru pindah ke sebuah kota kabupaten di provinsi berbeda. Di rumah kontrakan tugasku mencari kayu bakar, yaitu pelepah daun kelapa. Untuk sampai ke kebun kelapa yang kutuju, aku harus menyeberang sungai yang cukup besar.

Suatu hari aku mengambil pelepah kelapa. Tiba-tiba kudengar suara ledakan sangat keras. Seperti suara bom. Asal suara dari sungai. Aku ingin sekali melihat apa yang terjadi. Tapi demi tanggungjawab mencari kayu, aku tidak ke mana-mana.

Jelang Maghrib aku bergegas pulang. Beberapa pelepah kuusung di atas kepala. Aku harus turun tebing, lalu menelusuri tepian sebuah kedung, atau lubuk. Suasana sudah sepi. Tidak ada lagi orang mencuci, mandi, atau memancing. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan adanya banyak ikan menggelepar-gelapar di pinggir kedung.

Aku segera meraup ikan-ikan sebesar telapak orang dewasa itu. Rupanya mereka mabuk. Kuduga itu akibat bom yang tadi kudengar. Ujung kaus kumasukkan ke dalam celana. Dari leher kaus satu persatu ikan uang kudapat kumasukkan melalui kaus. Ada yangmasih bergerak-gerak.

Malam harinya kami sekeluarga makan besar. Ikan di piring tiap anggota keluarga kondisinya utuh. Ada kepala, lambung dan ekornya. Nasi panas, ikan goreng utuh, ditambah sambal terasi. Lahap sekali kami makan. Tidak ada yang bicara. Semua mulut sibuk mengunyah, keringat menetes, mata berair karena kepedasan.

Sampai dewasa, itulah dua peristiwa yang terus kupelihara dalam ingatan tentang peruntunganku bergaul dengan belut dan ikan.  *** 7 Juli 2019

Gambar: ikan mujairl

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun