Kami berjalan beriringan ke rumah salah satu teman. Di sana nanti kami akan membagi hasil buruan kami. Pembawa petromaks berada paling depan. Diikuti pembawa fcangkul, Aku berjalan paling belakang.Â
Kami berjalan diantara pematang, dan jalan setapak. Jaraknya cukup jauh. Karena rasa takut tertinggal sesekali aku setengah berlari. Sampai di rumah teman, aku kaget. Apa yang terjadi? Isi ember tinggal separuh. Padahal tadi penuh.
"Gi. . . . kamu buang ke mana hasil tangkapan kita?" tanya si Gendut dengan suara meninggi.
Aku tak bisa menjawab. Bingung.siapa yang mengambil setengah ember belut kami? Aku berpikir keras. Oh, rupanya tanpa setahuku belut-belut itu menjalar ke luar ember. Pasti mereka berceceran di sepanjang jalan. Karuan saja aku jadi sasaran kegeraman teman-teman. Â Malam itu aku tidak mendapat bagian belut. Aku merasa bersalah, jadi pasrah saja.
*
Kami dari keluarga besar, selain kedua orangtua ada sembilan anak dari umur balita hingga SMP. Bisa dibayangkan betapa ramai, repot, dan riuhnya keseharian kami. Urusan makan pun tidak berbeda mengaturnya. Dari daging ayam, telur goreng, hingga ikan untuk lauk harus sangat hemat. Untuk menu ikan misalnya, setiap anggota keluarga mendapat bagian tidak pernah utuh. Ada yang ketemu kepala saja, yang lain lambung, dan sisanya kebagian ekor saja.Â
Tetapi pernah suatu waktu ikan di piring betul-betul utuh. Kala itu keluarga kami baru pindah ke sebuah kota kabupaten di provinsi berbeda. Di rumah kontrakan tugasku mencari kayu bakar, yaitu pelepah daun kelapa. Untuk sampai ke kebun kelapa yang kutuju, aku harus menyeberang sungai yang cukup besar.
Suatu hari aku mengambil pelepah kelapa. Tiba-tiba kudengar suara ledakan sangat keras. Seperti suara bom. Asal suara dari sungai. Aku ingin sekali melihat apa yang terjadi. Tapi demi tanggungjawab mencari kayu, aku tidak ke mana-mana.
Jelang Maghrib aku bergegas pulang. Beberapa pelepah kuusung di atas kepala. Aku harus turun tebing, lalu menelusuri tepian sebuah kedung, atau lubuk. Suasana sudah sepi. Tidak ada lagi orang mencuci, mandi, atau memancing. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan adanya banyak ikan menggelepar-gelapar di pinggir kedung.
Aku segera meraup ikan-ikan sebesar telapak orang dewasa itu. Rupanya mereka mabuk. Kuduga itu akibat bom yang tadi kudengar. Ujung kaus kumasukkan ke dalam celana. Dari leher kaus satu persatu ikan uang kudapat kumasukkan melalui kaus. Ada yangmasih bergerak-gerak.
Malam harinya kami sekeluarga makan besar. Ikan di piring tiap anggota keluarga kondisinya utuh. Ada kepala, lambung dan ekornya. Nasi panas, ikan goreng utuh, ditambah sambal terasi. Lahap sekali kami makan. Tidak ada yang bicara. Semua mulut sibuk mengunyah, keringat menetes, mata berair karena kepedasan.