Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Sibuk dengan "Hobi", Maghrib pun Tiba

20 Mei 2019   23:59 Diperbarui: 21 Mei 2019   07:09 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menunggu maghrib dengan memancing di pinggir laut - Gambar: www.radartanggamus.co.id

Waktu berbuka selalu ditunggu-tunggu. Lapar dan haus sering membuat perut melilit, badan panas dan terasa lemas. Lalu kita mudah membayangkan minuman yang segar-segar, buah-buahan yang ranum dan manis. Bahkan juga tahu-tempe atau goreng pisang panas-panas dengan cocolan sambal. Semua itu bisa membuat bibir tambah kering, tenggorokan kerontang..

Begitulah dulu awal-awal belajar berpuasa. saat kelas dua atau tiga SD. Siapapun tentu pernah mengalami hal-hal yang gawat seperti itu. Ketika umur beranjak setingkat SMP hingga SMA lapar sudah tidak terlalu dirasa. Terlebih mereka yang punya bnyak teman akrab.  Kesibukan jelang waktu berbuka banyak. Bemain sepakbola, bola voli, atau bermain catur justru tambah ramai menjelang waktu berbuka. Tak terasa bunyi bedug yang mengawali adzan maghrid di masjid terdengar nyaring.

Setelah mahasiswa, pindah ke kota, susananya sudah jauh berbeda dengan di kampung halaman. Kesibukan pun berubah.

Penulis di sela kegiatan perkuliahan punya hobi berat: membaca novel, cerita bersambung, cerita silat dan cerita pendek yang ada di koran dan majalah. Bersamaan dengan itu hobi menulis mulai tumbuh.

Itulah yang masih bertahan sampai saat ini. Meskipun pada bulan Ramdan. Menulis tidak membuat kondisi finansial membanggakan, bahkan cenderung minus. Tetapi nilai kepuasan tak tergantikan dengan yang lain. Ketika gagasan liar muncul, siang atau malam, suara ketak-ketik mesin tik tua pun bergema. Itu dulu, tahun-tahun terakhir ini mesin tik berganti laptop. Suara berubah menjadi lebih lirih, sedangkan ritme dan nadanya hampir sama. Dan itu menandai menit demi menit berlalu, jam demi jam menyusut, tak terasa.

Tiba-tiba suara bedug mengawali kumandang adzan Maghrib terdengar di mana-mana. Di masjid-masjid, di televisi dan radio, para tetangga untuk saling memberitahu agar meninggalkan apapun yang dikerjakan guna bersegera membatalkan puasa.

*

Ketika bekerja dan kemudian pensiun, ternyata menulis tetap menjadi hobi yang paling mudah, murah, dan mengasyikan sekali. Menulis, dengan diselang-seling menggambar sketsa, membuat tts, dan membaca koran/majalah/buku.

Orang-oang lain sebaya masih sempat-sempatnya main gaple di pos ronda sambil tertawa-tawa meriah. Penulis tidak sanggup melakukannya lagi. Angin di luar rumah sangat buruk bagi kesehatan. Menuruti hobi tidk berartiharus dengn mengorbankan daya tahan tubuh dan kesehatan yang jelas-jelas kian rapuh.

Kini berkawan pun harus sangat selektif. Sebab bila ketemu teman-teman dengan karakter sumbu pendek silaturahim gampang putus untuk hal-hal sepele. Teman di sekitar tempat tinggal, terlebih teman di medsos. Untuk yang terakhir ini lebih baik diam, tak berkomentar, dan bila sudah keterlaluan ya stop pertemanan.

Pertimbangannya, bukan sengaja mengurangi jumlah perkawanan, apalagi berniat memutus  tali silturahim. Tapi sangat penting menimbang manfaat dan mudaratnya. Pilih saja berteman dengan mereka yang kreatif dan produktif dalam hal-hal positif, siapa tahu aura positif mereka menular.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun