1/
"Hari ini ulang tahun pernikahan kita, Mak,
ingatkah?" ucapku sesaat duduk di bangku kayu,
ketika sepasang anak muda mempersilakan kita
menggantikan tempat mereka.
Keduanya beranjak, pilih duduk di trotoar, sambil melontar
tanya jenaka: "Kenangan apakah yang sedang Kakek-Nenek
rasakan hari ini?" tanya si Gadis dengan suara lirih,
diantara senyum kecil, menunggu jawaban.
"Kamu membaca pikiran kami, Nak?" tanyamu
dengan nada terkejut. "Kamu curang. . Â .!"
Mereka tertawa lebar jadinya, saling berangkulan,
tidak menggeleng atau mengangguk. Pasangan cantik
dan ganteng itu tampak serasi. "Kami hanya menerka. . ."
jawab si lelaki.
"Tiga puluh kurang satu tahun usia perkawinan kami,
hari ini. Dan kami masih saling setia. . . . !" sambungku
yang membuat pasangan muda itu saling pandang,
seperti tak yakin. Lalu spontan mereka menyalami kita.
Si Gadis minta foto wefie, lalu kita ngobrol apa saja,
tentang senja merah, kembang-kembang taman rekah,
cuaca hati yang ingin terus berbagi tak lelah.
2/
Kita pada ketika yang lain, berjalan di trotoar kota
pada Car Free Day yang disesaki anak-anak muda.
Udara sejuk, mendung serupa payung. Kita ikut gaya mereka,
berbusana olahraga, dan lekat bergandengan tangan.
Bahkan juga ngobrol tentang cinta yang dulu buta, bilakah
sama meriah layaknya dua sahabat lama tak jumpa.
Lalu tiba-tiba saja kita bersua lagi pasangan itu.
"Sampai jumpa lagi, Nak. Tahun depan, insya Allah,
bila umur masih terulur. Kami akan mentraktir kalian," Â
ucapmu yakin, dengan tangan kanan melambai. Â
3/
"Siapa mereka, Mak?" tanyaku seperti tersengat
karena baru ingat pertanyaan itu.
"Kita terlalu asyik ngobrol, hingga lupa
untuk saling memperkenalkan diri. Siapa mereka itu?"
jawabmu ganti bertanya, dengan perasaan kecewa pula.
Terdiam lama, saat angin berkesiur keras
membawa butir air, kita memutuskan bergegas.
"Boleh jadi mereka adalah kita di masa lalu?
Pasangan yang bersemangat, penuh canda,
tapi santun kepada orang tua. . .!" ucapku sekenanya.