Puasa mengajari setiap mulim-musli\mah untuk mampu menahan diri. Menahan diri dari mata-mulut dan hati, serta menahan diri dari hal-hal yang halal dilakukan (pada hari-hari diluar Ramadan). Dengan kata lain, manghadapi hal-hal yang halal saja kita harus menahan diri (tidak serakah, aji mumpung, menuruti hawa nafsu), apalagi menghadapi hal-hal yang memang diharamkan. Â
Itu tadi mungkin resepnya.
Lalu bagaimana dengan sajian sehat. Nah, mari mengupas dulu kata sehat. biasanya untuk lebih komplit disebut sehat-wal afiat, atau sehat lahir-batin, sehat jasmani dan rohani. Kedua sisi itu harus dikelola secara seimbang, agar hidup pun seimbang. Apalah artinya sehat jasmani kalau rohani sakit, sebaliknya apalah artinya sehat rohani kalau jasmani tidak berfungsi.
Itu sebabnya ada makanan jasmani, dan ada pula makanan rohani. Makanan jasmani menjadikan kenyang perut, sedangkan makanan rohani menjadikan kaya hati, lemah-lembut, mudah berempati, jujur, jauh dari berbagai penyakit hati, dan seterusnya.
Kemudian mengenai tagar anti ribet, dapat dimaknai sebagai sindiran untuk tidak bermegah-megah, bermewah-mewah, mengutamakan bungkus daripada isi, suka pada ceremonial dan melupakan substansi, dan seterusnya. Sebab kosmetik dan ceremonial itu yang menyebabkan sesuatu yang mudah menjadi ribet-rumit dan bahkan runyam.
Motto 'kalau ada yang bisa dipermudah kenapa dipersulit' harus dipraktikan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Tanpa bermaksud menggampangkan, hidup ini sederhana saja sebenarnya. Yaitu tuntutan untuk beriman dan bertakwa. Selebihnya itu aksesoris, hiasan, dan kerapkali justru sendau-gurau. Karena itu slogan anti ribet sewajarnya menjadi keseharian setiap muslim-muslimah, terlebih pada bulan Ramadan. Ini bulan yang istimewa untuk terus belajar mempraktikan sunah Nabi dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Nah itu, lumayan panjang sebagai pengantar. Para ustadz tentu lebih fasih dalam membahas dan menjelaskan masalah-masalah seperti ini. Tapi agaknya banyak diantara mereka yang terlanjur terpapar politik radikalisne dan arogansi dalam beragama, politik menghalalkan cara untuk meraih jabatan, dan politik identitas sempit dengan berjubah agama.
Oleh karena itu sebenarnya umat pun harus makin kritis untuk memilih ustadz dan ajengan/pemuka agama mana yang masih murni semata sebagai tokoh agama, mensyiarkan agama, mengajak kepada kebaikan dan menjauhi kebatilan, mengayomi dan membuat suasana sejuk, bukan seorang yang mudah tergoda godaan duniawi harta-tahta-wanita, dan terutama yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.Â
*
Yang banyak diungkapkan soal sehat pada saat berbuka (sunah Nabi) cukup popular, yaitu berbukalah dengan air putih/tawar dan tiga butir kurma. Tetapi untuk santap sahur cara Nabi hampir tak terdengar diperbincangkan orang. Padahal menu santap sahur pun ternyata tidak berdeda dengan menu berbuka.
Untuk mevariasikan antara santap berbuka (mungkin berminyak, berlemak, daging, dsb.) dengan santap sahur maka perlu menu yang berbeda, khususnya masakan dengan sayur-mayur.