Lelaki tegap itu tampak garang betul
sulit senyum, gampang meradang
Ia mungkin bagian dari gerombolan
tak bernama, yang bergerak dalam senyap
untuk alasan siapa harus didera
siapa harus ikhlas dibuat lenyap.
Selesai tugas, berhenti ia untuk sekejap
menengok tapak di belakang, menghapus
yang mungkin lawan mengendus
sebelum pulang, langkah ringan
jauh di seberang, perkampungan tersembunyi
di balik awan, dihuni kawanan pembantai.
Di sana, sayang sekali, tak didapati anak-isteri
hati pun meradang, kaki refleks menendang
pagar, pintu, jendela dan semua perabotan
runtuh. Rumah ambruk, lihatlah, jadi puing.
Ia curiga, mungkin anak-isteri ganti diculik
dirudapaksa para lelaki tegap yang lain
yang juga bergerak dalam senyap.
Ia kalap dan cepat mengumpulkan anak buah
untuk memburu, berburu, menyerbu.
Jauh hari kemudian, ingatan kolektif
menyajikan fakta yang sama
namun, dengan latar dan narasi boleh berbeda.
Bahkan dalam panggung sejarah
penculik dan korban tak jarang
bertukar peran
begitu gampang
tak henti menabuh riuh. Saling bunuh.
Cibaduyut-Cigadung, 25 - 28 Desember 2018
Tengok juga puisi sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H