Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Kerinduanku Pada Hujan

13 Oktober 2018   14:18 Diperbarui: 13 Oktober 2018   20:49 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingin mendamaikan hati dengan hujan. Rinai yang sesekali lewat, menyiram tak terlalu basah. Lalu pergi diam-diam untuk kembali mengembara ke padang-padang  kerontang, gunung tandus menjulang, gurun pasir, dan lautan berombak besar, bersamamu.

Dingin dan basah yang kutunggu memang hanya kamu, namun cuaca enggan berlapang dada mempertautkan kita.

Aku si kemarau ganas, pasrah terusir dalam setiap pilihan untuk bermukim beberapa lama. Orang-orang menghujat serupa pada wabah penyebar petaka dan kematian massal begitu mengenaskan.

Ketika hari ini tiba-tiba rintik menderas memandikanku dengan harapan, untuk kembali bertemu denganmu, maka pasrah aku untuk menyapa dengan kata-kata paling merdu. Meski tanpa janji, terlebih dusta, untuk sebuah kebersamaan. Tidak.

Kita tercipta dari dunia yang berbeda. Aku berkawan matahari dengan segenap ganas dan amarah yang menghanguskan. Sedangkan kamu lembut mengelus kulit anak-anak ingusan yang bermain air di bawah talang dan teritisan rumah-rumah kampung di pedesaan. Berlompatan di aliran parit dan selokan berarus bening pada sisi areal persawahan menghijau luas. Berlarian saling kejar di tanah lapang, lalu bermain sepakbola dalam lumpur, dengan begitu riuh ditingkah teriakan, celoteh, tawa-ria dan banyolan sarkas sedemikian bebas.

Pernah memang suatu waktu kegiranganmu meluruhkan danau-danau di balik awan; sungai-sungai di atap tinggi, dan itu berakibat miris, mengundang tanah bergerak, lalu longsor, disertai air bah. Bahkan tanggul jebol, perkampungan luruh dan ladang-ladang kuyup terendam basah, menjadi lautan lumpur yang selalu siap menghisap apapun di atasnya.

Maka seperti setiap orang kepanasan, rekah tanah sawah-ladang mereka merindukan datangmu. Aku pun tak tahan lagi untuk terlalu lama menjadi bahan gunjingan. Datanglah, Kekasih, bersama hujan. Tapi jangan datang berbarengan, jangan terburu-buru dan berebutan.

Biarlah kutunggu kamu di ujung cakrawala, dalam pertemuan singkat yang pasti kamu harapkan pula. Namun hadirmu berarti mengusirku seketika. Aku ganti yang harus pergi ke balik benua, di sana orang-orang telah lama didera cuaca dingin dan basah membekukan. Danau dan sungai membeku. Laut tak henti mengirim badai. Mereka menantiku, Ah, senangnya menjadi sesuatu yang ditunggu. Senangnya pernah kita bersua dan bergandengan tangan, untuk waktu tak lama. Itu pun cukuplah. Kita tercipta untuk alasan tangis dan tawa yang berbeda. *** 29 Agt -- 13 Okt 2018

Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun