Beberapa kali gerimis, lalu hujan agak besar, dan kembali panas terik matahari. Hari-hari seperti ada kebakaran hutan. Udara gerah, angin seperti  malas bertiup, sehingga September belum sepenuhnya menandai hari-hari bermandi hujan sebagaimana biasanya nama-nam bulan bersukukata akhir 'ber'. Orang dulu memaknai bulan September hingga Desember sebagai bulan besarnya sumber, alias musim penghujan.
Mbak Murwo senang-senang saja ketika hari panas terik. Sebab itu berarti dagangannya laris manis. Pembeli banyak, tak henti, membeli: makanan atau minuman. Terutama lotek, rujak, dan es cendol. Pos roda 'klub banting kartu' pun ramai oleh warga yang hendak santai, mencari teman cgobrol, atau sengaja mau memenuhi urusan perut lapar. Bermodal gerobak dorong, ditambah meja dan dua bangku panjang, Mbak Murwo berjualan di sebelah pos ronda.
"Es cendolnya tambah, Mbak. Haus sekali nih. Seperti penjualnya, cendolmu seger dan manis sekali. . . .!" puji Bu Tini sambil menyodorkan mangkoknya yang sudah kosong.
"Seger dan manis ya? Hahaha. Coba para jomblo punya pendapat begitu, sudah lama aku menemukan satu yang terbaik diantara mereka." Jawa Mbak Murwo seraya dengan cekatan meladeni pembelinya.
"Mungkin masih di ujung dunia yang lain.. . . .!" sambung seorang pembeli.
"Orang India, Korea, atau orang Amerika. Siapa tahu?" sahut yang lain.
"Anakku kelak pasti cantik, tinggi besar, dan mancung-mancung ya? Bisa jadi bintang sinetron dong. Meski ibunya hanya penjual lotek dan cendol, si anak jadi silebritis kondang. . . . ah, bukan main. Mimpi kok siang hari bolong begini. Jadi kurang waras ya!" komentar Mbak Murwo seraya menyerahkan mangkok cendol Bu Tini.
Bu Tini menerima mangkoknya, dan dengan cepat minuman dingin itu disruputnya dengan penuh semangat. Pembeli yang lain tertawa saja. Mbak Murwo membuatkan pesanan pembeli yang lain dengan cepat. Lotek, rujak, dan gorengan segera terhidang di depan para pembeli dan segera habis mereka lahap.
Pembeli silih berganti, begitu juga yang lewat di depan pos ronda. Sedangkan Mbak Murwo tetap setia menunggu di tempat itu.
*
Siang itu yang duduk di pos ronda hanya Kang Murbani dengan lawan abadinya dalam petak-petak papan catur, tak lain Wak Jafar. Dua mangkok es cendol lama tak terjamah, es batunya lumer dan mencair. Keduanya terlalu asyik menikmati rokok dan memantengi buah-buah catur dengan aneka pikiran ribet di dalam kepala.