Akhirnya kutulis juga puisi ini
pada batang-batang bambu
pada pasir putih di bibir pantai
juga di dinding hati yang kian ragu.
Sepi sebagai pena
dan rindu menjadi lembar alasnya
juga air mata
merah darah
seumpama tinta.
Adakah ini ungkapan perpisahan
atau nada kecewa
sebab harap tak terjawab
doa-doa tinggal angin
menggenapi senyap yang lelap;
Subuh kembali berlabuh
di dermaga kecil bernama sembah
pada ujung usia diliput pedih
burung-burung kecil bercericit
ayam jago bersahutan kokoknya
dan alam beringsut mengembang
dalam tubuh lunglai ini
didera kambuh.
Akhirnya kutulis juga puisi
lewat si empunya nasib
lewat jalanan berliku yang terputus
di celah bukit sebelum kota
gurat-gurat kata sejuk berembun
kisah tua menjelma jamur
lalu lirih senandung hutan
lelaki rapuh penuai malam.
Bila kelak kamu temukan
semarak pesta panen padi para petani
panggung dangdut penyuka goyang
bahkan di pentas kecil pembacaan puisi.
Mungkin itu suaraku
mungkin itu sapa
yang tak sudah kuterusterangkan padamu
lewat kata meski terbata-bata
lewat rasa yang mungkin hambar
lewat nasihat yang memudar khasiatnya.
Tapi aku suka.
dan biarlah terus kutulis puisiku
dari subuh ke subuh, di sembarang tempat.
Sampai kuyakin
engkau tak hendak berpaling
Kecuali mengingatku yang terlanjur luruh.
Bandung, 18 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H