Pagi merekah bersama cerah, dan Zohri berlari tanpa alas kaki. Sebab sepatu menjadi barang mewah. Namun dari rumahnya yang sangat sederhana, semangat di dada tak terbendung gagah. Ia melesat cepat pada suatu hari, menuai prestasi, dan menjadi juaranya.
Siang terik menggigit kulit. Mungkin saja kita ikut tersengat.
Itu kisah kegigihan anak muda dari bumi timur, dimana nama besar lain menyeruak mengundang puja dan kemudian cela. Lalu Muhammad Zohri seolah berlari seirima dengan jejak sang gubernur dua periode, Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi. Orang yang berani berbeda, tak takut mengubah pendapat dengan segenap konsekuensinya, dan mumpuni dalam bidangnya. Mereka menasional, mendunia, mengharumkan tanah kelahiran, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Hari-hari akan berlalu dengan panas dan hujan. Mungkin itu sekadar permainan hari, namun bukan tak mungkin permainan hati.
Tidak ada yang tidak bangga karenanya, juga Presiden Joko Widodo. Prestasi tidak seharusnya disertai curiga dan berburuk sangka. Demikian juga ketika Tuan Guru berpindah haluan politik atas nama pilihan pribadinya. Orang-orang yang menuhankan politik pontang-panting menyikapi. Tapi apapun, Zohri akan tetap berlari.
Pada usia ke delapan belas, ia serupa melipat jarak begitu cepat, sepuluh menit delapan belas detik untuk jarak seratus meter. Sebuah progress yang luar biasa dahsyat.Â
Dari sosok yang tak diperhitungkan menjadi orang yang pantas dijadikan panutan: sederhana, sedikit bicara, dan ingin memperbaiki ekonomi keluarga yang mendasari kegigihan dan keuletannya berlatih mengejar angin, meraih mimpi di atas semua mimpi. Ia juara dunia di ajang lari dunia kelompok umur 20 tahun yang digelar Asosiasi Internasional Federasi Atletik (IAAF World U-20 Championship).
Masa depan masih terbentang lapang untuk Zohri. Namun sebagian mimpi itu mulai terengkuh.
Bandung, 13 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H