Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Salam Tempel, Menasihati Anak, dan Uang Halal

11 Juni 2018   21:26 Diperbarui: 11 Juni 2018   21:37 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kegembiraan anak menerima uang lebaran

Anak-anak sekarang sudah mata duitan. Apa-apa uang, bergerak sedikit minta uang, perlu apa-apa harus pakai uang, dan seterusnya. Mata duitan memang tidak mudah dihilangkan, dan itu diturunkan dari kedua orangtua mereka, juga dari kakek-nenek. Anak-anak tinggal meneruskan saja. Namun tentu sejarahnya panjang untuk sampai pada keadaan sekarang.

Dulu ketika saya berangkat ke sekolah diberi 'sangu' (bahasa Jawa berarti bekal, bahasa Sunda berarti nasi). Padahal pengertian awalnya memang seperti dalam bahaa Sunda, yaitu nasi, atau bekal makanan lain: kue, buah-buahan, minum.

Tahun 1960 -- 1970 untuk anak SD  rata-rata bersekolah dekat rumah (dengan kekecualian yang rumahnya betul-betul daerah terpencil), sehingga bekal makanan dan minuman menjadi penting daripada jajan (mengudap di kantin sekolah). Saat itu uang tidak sebanyak sekarang, uang juga masih 'aji' alias berharga, serupiah -dua rupiah masih bisa untuk membeli sesuatu. Sekarang uang seribu rupiah saja kurang untuk ongkos parkir motor dan untuk ongkos toilet.

Namun satu hal lagi, pada waktu itu produk makanan-minuman khusus untuk anak-anak sanat sedikit, yang terbanyak justru buatan sendiri. beda dengan sekarang, semua makan-minum produk  pabrikan. Dunia memang sudah berubah banyak, dan soal uang untuk anak-anak makin sulit dihindari.

*

Saya berpendapat memberi uang pada anak --dengan jumlah tertentu sesuai tingkat umur- tidak ada masalah. Saya setuju saja, sebab zamannya memang sudah serba uang. Ini salam tempel dengan pengerian positif. Oleh karena itu anak-anak pun harus sedini mungkin diperkenalkan pada fungsi uang. 

Dengan uang anak-anak bisa berhitung, tetapi lebih dari itu juga bisa berhemat. Tidak semua uang yang diberikan oleh orangtua  atau sanak-keluarga, dihabiskan untuk berbelanja. Harus ada yang ditabung, harus ada yang disedekahkan kepada fakir-miskin/yatim-piatu, ataupun ke lembaga amal, dan ke masjid.  

Orangtua pun perlu menjelaskan kepada anak-anak (usia balita dan SD) betapa sulitnya mencari rezeki. Harus bekerja keras, bersisiplin, bersungguh-sungguh, dan terampil/pintar dalam bidang masing-masing. Baik bekerja untuk orang lain (termasuk kantor swasta dan pemerintah) maupun unuk diri sendiri. Bila tidak mampu memenuhi ketentuan itu maka  seseorang dianggap tidak mampu bekerja.

Berapa banyak uang yang diperoleh dari hasil bekerja harus dibagi-bagi untuk banyak kebutuhan: pangan, sandang, papan, kendaraan, pendidikan, bermasyarakat, hingga pada urusan agama. Hal kedua itu biasanya para orangtua lemah. Juga orangtua saya, dan bahkan saya sendiri. Mencarikan rezeki untuk anak-isteri dapat dipenuhi meski serba pas-pasan, namun memberi pengertian bahwa mencarinya tidak gampang sulit diwujudkan. Orangtua seolah-oleh menyerahkan pada sekolah soal itu, dan jelas tidak selalu berhasil.

Saya pernah bertemu dengan kenalan/karabat yang menggaji anaknya sendiri karena bekerja membantu usaha orangtua. Ini luar biasa. Si anak yang lulus SMK langsung bekerja pada ayahnya yang membuka bengkel. Ketika dirasa gaji terlalu kecil si anak berusaha mencari pekerjaan lain dengan memanfaatkan ijazahnya. Bahkan kemudian ia mampu meneruskan kuliah dan selesai sebagai sarjana. Ia sangat berterima kasih pada ayahnya yang membiayai pendidikan dan memperkenalkan pada dunia kerja yang keras dan penuh tuntuttan.

Ada lagi orangtua yang punya usaha meubel, pedagang, dan pemilik toko. Pada umur tertentu si anak sudah dipekerjakan layaknya orang lain. Sehingga anak itu bekerja bersungguh-sunguh, dan ketika ia bekerja pada orang lain tidak kaget lagi untuk bersaing dengan sesama karyawan.

Dan semua itu berawal dari uang baru pecahan kecil pada saat Lebaran, yang diberikan orangtua, sanak-saudara, maupun kenalan dekat dengan orangtua si anak. Akan sangat baik bila anak-anak diajak ketika kita membayar zakat fitrah dan infak/sadakah melalui pegurus masjid terdekat.

*

Anak-anak yang memegang uang sejak kecil sebenarnya dapat dilihat sifatnya. Ada yang boros, ada yang pelit, dan ada yang penuh perhitungan. Yang boros, biasanya meghabiskan uangnya untuk jajan apa saja (terutama makanan, meski di rumah banyak makanan. Bahkan ada yang untuk membeli petasan). Setelah habis, ia akan merengek kepada saudaranya atau orangtua. Tak malu ia minta jajanan teman. Tak jarang hal ini menyebabkan pertengkaran, perkelahian, dan salah satu ada yang menangis.

Anak yang pelit akan menyembunyikan uangnya, lalu minta jajanan kepada teman atau orang lain. Sedangkan anak yang penuh perhitungan tak jarang mau menabung untuk mendapatkan mainan atau barang tertentu yang harganya belum sesuai dengan uang yang dimilikinya.

Melihat hal itu para kakak yang sudah dewasa,maupun orangtua, perlu memberi pengertian tentang hal yang baik dan buruk mengenai tiga sifat itu bila dibawa hingga dewasa. Nasihat itu yang terbaik disampaikan saat memberikan uang kepada anak-anak: jangan boros, harus ada yang ditabung, harus membeli sesuatu yang berguna, jangan jajan saja, dan seterusnya. Orangtua juga harus mendoakan anak-anak akan kelak dewasa pintar mencai rezeki yang halal, dan dimanfaatkan di jalan yang diridhoi Allah. Sebaliknya orangtua minta didoakan anak-anak agar tetap sehat dan kuat mencari rezeki halal demi keluarga.

Bila seseorang memberi uang pada anak tetangga/kenalan yang cukup besar cukup besar (mungkin sekaligus bentuk bantuan kepada keluarga si anak) akan lebih baik dititipkan kepada orangtuanya.

*

Hal terakhir, anak-anak dengan pekerjaan dan penghasilan lebih baik memang sudah saatnya ganti memberi 'angpao' kepada orangtua. Namun tentu itu bukan kewajiban. Orang tua biasanya tidak terlalu banyak kepentingan lagi dan sudah terbiasa hidup sederhana dengan memanfaatkan sisa tabungan atau uang pensiun maupun THR yang dimiliki.

Para orangtua maklum bahwa anak-anak mereka (yang mungkin sudah bekerja dan berkeluarga)  memiliki keperluan yang tak sedikit pula. Itu sebabnya membebani anak-anak dengan permintaan ini-itu sangat tidak bijaksana. Dan sifat itu justru yang melekat sejak kecil pada diri orangtua: pelit, medit, cap jahe, mere gehese, dan seterusnya. 

Semua hal yang saya tulis di atas tentu bukan untuk keluarga berada. Sebab bagi si berpunya pasti tak ada masalah dengan uang. Harapan saya mereka mendapatkannya dengan halal, bukan hasil korupsi/grativikasi, atau bisnis curang/kriminal. Memberikannya pun bukan karena riya, tapi ikhlas sebagai sedekah.

Begitu saja tulisan sederhana ini. Mudah-mudahan berkenan untuk membacanya.***11/6/2018

 Foto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun