Sedangkan ternak kambing pakannya dicari rumput di sekitar ladang yang disewa  bapak. Bapak yang menyambit rumput, dan saya yang mengumpulkan ke dalam keranjang. Pulangnya keranjang rumput saya 'sunggi' (meletakkan di atas kepala). Setelah beberapa waktu di ubun-ubun kepala saya ada cekungan yang menandai saya sering membawa beban berat dengan keranjang di kepala. Ibu beberapa kali mengingatkan saya agar membawa beban di kepala tidak terlalu berat. Untuk berbagai keperluan mendesak jelang Lebaran akhirnya kambing-kambing itu dijual.
Kelak bapak membeli kambing lagi ketika panen tanaman tembakaunya punya harga tinggi. Itu hasil yang sesuai dengan kerja keras dan ketekunan bapak memelihara tanaman tembakau yang cukup rumit di tanah sewaan.
*
Shalat tarawih menjadi pengalaman yang cukup menegangkan. Saya dan beberapa anak sebaya untuk mencapai mushola harus melewati beberapa rumpun bambu, jalan setapak, dan kebun. Suasananya masih gelap. Sesekali ada yang membawa obor. Tempat tinggal saya paling jauh. Ketika satu per satu teman-teman sudah sampai rumah masing-masing, saya masih harus meneruskan berjalan. Lewat di bawah rumpun bambu saya harus berteriak-teriak membaca surat-surat pendek sendiri untuk menghilangkan rasa takut. Di ujung sana bapak menunggu dengan tertawa-tawa karena tahu saya ketakutan.
Shalat Iedul Fitri kala itu selalu di dalam masjid. Suasana seperti shalat Jumat, namun jamaahnya lebih banyak, meluber sampai halaman masjid. Bedanya, jamaah berpakaian serba baru, mulai dari peci, kemeja hingga sarung atau celana panjang. Saya pun mengenakan pakaian baru, dan saya rasa ada bau-bau kambing di sana. ***3/5/2018
 Gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H