Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Godaan Sumur, Mengeraskan Bacaan, dan Madu Sumbawa

22 Mei 2018   22:51 Diperbarui: 22 Mei 2018   23:08 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shalat berjamaah di masjid/artikel.masjidku.id

Dalam keadaan apapun kita tidak boleh lupa, tapi memang sulit dan menjadi sifat manusia yaitu pelupa. Nah itulah yang terjadi pada puasa hari pertama ketika saya masih kelas 3 SD.

Beberapa teman mengajak memanfaatkan libur awal puasa untuk berjalan ke desa. Pagi-pagi kami berangkat. Hari itu cuaca cerah, matahari terik. Keringat pun deras mengucur, perut lapar, dan haus sekali. Waktu jelang tengah hari.

Setelah melewati kebun dan pekarangan, kami sampai di dekat rumah penduduk. Ada sebuah sumur timba di sana. kami iseng saja menengok ke dalamnya. Dangkal, dan jernih airnya. Dalam beberapa detik saja kami lupa segalanya. Cepat-cepat saya menimba, lalu meminum langsung dari ember. Diikuti teman-teman lain. Satu orang satu ember. Minum sampai puas.

"Segar sekali ya?" tanya saya pada teman-teman yang wajah dan pakaian basah karena terlalu bersemangat menum langsung dari ember.

"Hahaha. . . .!" Semua tertawa tiba-tba. Mungkin baru sadar bahwa kami telah bata. Panas terik tengah hari di desa jauh, dan bertemu dengan sumur menjadi godaan yang tak tertahankan.   

*

Rutinitas shalat Maghrib, Isya dan Tarawih, serta shalat Subuh di masjid dengan bacaan Al Fatihah dan Surat-surat yang dikeraskan oleh Imam membuat kepala sering malas berpikir. Apalagi badan capek oleh aktivitas sehari-hari di luar kegiatan ibadah dan muamalah Ramadan, perut kenyang (selesai berbuka atau sahur), serta mata mengantuk (malam kurang tidur). Jadi ikut saja gerakan Imam.

Hingga pada satu hari saya ada keperluan dan shalat berjamaah di sebuah masjid kota. Pada rakaat  pertama entah pikiran apa yang mengganggu, saya menunggu Imam mengeraskan suaranya. Terasa begitu lama, sampai kemudian ia bertakbir untuk rukuk. Astagfirullah. . . . baru saya ingat ini shalat Ashar. Anak-anak pun tahu pada shalat Dhuhur dan Ashar, Imam tidak mengeraskan bacaan Al Fatihah dan surat-surat.  

Pada sisa rakaat saya bingung pula harus bagaimana, sebab rekaat pertama tidak membaca Al Fatihah sebagai sahnya tiap rekaat dalam shalat. Saya tidak perlu menuliskan apa yang kemudian saya lakukan, tapi selalu teringang di telinga saya ada beberapa orang yang tertawa atas apa yang saya lakukan kemudian. . . !

*

Sewaktu mahasiswa saya berkunjung ke kamar kost seorang teman di dekat kampus. Ngobrol soal kuliah dan lain-lain, sampai tak terasa sebentar lagi Maghrib.

Waktu itu (sekitar tahun 1979) untuk sekali makan dengan lauk sederhana (khas mahasiswa kost) hanya 200 rupiah. Tapi uang sejumlah itu pun saya masih merasa sayang untuk mengeluarkannya. Saya berpikir akan pulang saja nanti dan berbuka di rumah.

Tiba-tiba si teman memberitahu, ada sesama penghuni kost yang baru kembali dari pulang kampung. Kampungnya di Sumbawa, dan bawa oleh-oleh berupa madu. Tidak tanggung-tanggung, satu jerigen isi lima liter. Maka jalan keluar untuk berbuka sudah saya dapat. Saya mengambil setengah gelas, dan dicampur dengan air putih setengah gelas. Lalu aduk sampai tercampur rata. Dan itulah menu saya berbuka hari itu.

Hasilnya luar biasa. Sewaktu shalat Maghrib badan terasa sangat panas. Peluh meleleh, dan kepala jadi berat. Hampir-hampir saya pisan dibuatnya.

Mengetahui apa yang saya alami seusai shalat, si teman tertawa terbahak-bahak. Ia berkomentar: "Itu akibat pelit, dan sekaligus aji mumpung. Rasakan." Ia tahu kemurnian dan kasiat madu Sumbawa. Meminum pun biasanya dengan ukuran sendok makan, bukan gelas. Sampai sekarang saya masih tidak mampu menggambarkan bagaimana dahsyatnya rasa tubuh saya waktu itu.    

*

Demikian tiga hal lucu yang masih menjadi ingatan saya. Ada sebenarnya beberapa yang lain yang juga lucu, tapi itu aib. Dalam agama, bahkan mengumbar aib sendiri pun dosa. Apalagi sengaja mengorek dan menggali aib-cacat dan kesalahan orang lain. Di akhirat kelak Allah akan membalas tindakan itu dengan neraka. Maka jangan lakukan, terlebih untuk sekadar menjadikannya bahan tertawaan. ***22/5/2019

Gambar

Simak THRkompasiana yang lain:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun