Menginagat masa lalu bagi saya tak lupat dari kenangan atas masjid-masjid yang pernah saya singgahi di tiga provinsi, tempat saya pernah dan saat ini bermukim. Tidak sepenuhnya ingat detilnya, tetapi beberapa masjid menjadi favorit dalam ingatan saya. Â
Berapa banyak masjid yang pernah saya singgahi? Tidak banyak. Tapi masjid-masjid di ibukota kabupaten dan kota di Jawa Barat serta Banten hampir semua pernah saya singgahi. Ketika berdinas beberapa hari di Kota/Kabupaten Cirebon misalnya, saya menyempatkan diri shalat di masjid kota, masjid keraton, dan beberapa masjid yang lain yang saya lewati.
Berikut beberapa masjid yang favorit dalam kenangan saya. Pertama Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Kota Cirebon. Beberapa keistimewaan masjid ini diantaranya fisik bangunan dan arsitekturnya mirip Masjid Demak. Selain itu juga ada 'adzan pitu', yaitu adzan yang dilakukan oleh tujuh orang sekaligus.
Bila berkunjung ke Cirebon, kurang afdol tanpa singgah di masjid ini. Saya beberapa kali membuat liputan kraton Kasepuhan, termasuk musium, acara Maulid Nabi, termasuk masjidnya. Masjid ini dibangun tahun 1489, dan berada di lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon. Masjid Sang Ciptarasa merapakan salah satu masjid yang menandai perkembangan Islam di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Bangunan utamanya dengan pintu rendah sehingga jamaah yang akan masuk ke dalam harus merunduk untuk menandai penghormatan. Di dalam ada ruangan khusus untuk Sultan dan kerabat keraton.
Atap rendah, banguna kayu serta nuansa keraton mengahadirkan suasana sejuk, tenang, dan khusuk. Melengkapi wisata, para pengunjung Keraton Kasepuhan biasanya singgah di Masjid Agung Sang Ciptarasa .
Masjid kedua yang menjadi favorit saya yaitu Masjid Agung Banten. Liputan dan pembuatan bahan siaran lain di Kota Serang selalu saya manfaatkan untuk singgah di Masjid ini.
Masjid Agung Banten terletak di Kecamatan Kasemen, daerah Banten Lama atau tepatnya 10 km utara Kota Serang. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang penuh dengan nilai sejarah. Menusur sejarah, masjid ini dibangun antara tahun 1552-1570 saat Sultan Maulana Hasanuddin memerintah ini. Dari peran dan arsitekturnya, masjid ini menjadi salah satu saksi sejarah perkembangan Islam di Provinsi Banten.
Seperti juga masjid-mesjid lain yang bernilai sejarah, masjid agung Banten juga menjadi salah satu tujuan wisata ziarah. Di dalamnya bahkan ada sumur yang diyakini memiliki khasiat menyembuhkan. Bangunan masjid, arsitektur, serta mentuk menara yang unik yang konon dibangun oleh tiga arsitek perpaduan Jawa Hindu, China, dan Eropa.
Masjid ke tiga favorit saya yaitu Masjid Gede di Kotagede, Yogyakarta. Ini merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang masih dipergunakan, menurut sejarahnya, masjid Gede dibangun tahun 1640 pada zaman Kerajaan Mataram oleh Sultan Agung bergotong-royong dengan masyarakat setempat yang pada umumnya waktu itu beragama Hindu dan Budha.
Masjid ini saya kunjungan bila pulang kampung saat Lebaran, atau ada keperluan lain ke Yogyakarta, termasuk urusan reuni. Nuansa keraton terasa juga di sini, dan membedakan dengan banyak masjid yang modern.
*
Masjid yang membuat jamaahnya nyaman, tenang, dan khusuk saat melakukan shalat, dzkir dan itikaf tentu menjadi masjid favorit. Setidaknya itu yang sara rasakan. Bangunan kuno dengan nuansa tradisional memberi nilai tersendiri.
Namun ada masjid yang tidak kuno dan tidak unik dari sisi arsitektur namun menjadi favorit saya, yaitu masjid di atas kapal penumpang. Kenangan ini sudah cukup lama berlalu, yaitu sekitar pertengahan tahun 1990-an.
Masjid itu ada di KM Kambuna, kalau tidak salah di dek 7. Saya tidak ingat namanya. Saat itu saya dalam perjalanan menjemput Isteri dan tiga anak yang saya tinggal keluarga di Manado., pada awal kepindahan saya ke Bandung. Harga tiket pesawat kala itu relatif masih mahal untuk ukuran kantong seorang pegawai negeri.
Lima hari saya sendirian saja menjadi penumpang kelas 4. Satu kamar/kabin terisi 8 orang, dengan dipan bertingkat. Saya naik kapal itu dari Tanjung Priok Jakarta, menuju Bitung - Sulawesi Utara. Selama perjalanan, kapal singgah di empat pelabuhan di koa Surabaya, Makasar, Balikpapan, Palu dan Toli-toli, sebelum sampai ke Pelabuhan Bitung.
Keunikan shalat di kapal saya rasakan luar biasa membekas di kalbu. Selama lima hari di dalam kapal saya mengikuti jadwal shalat yang hanya tiga kali sehari-semalam. Shalat Maghrib dijamak kosar dengan Isya', dan Dhuzur dengan Ashar. Kumandang adzan dapat diikuti pada setiap kamar-kamar. Selain tidur, jalan-jalan, antri makan, dan ngopi di kantin kapal, shalat berjamaah ke masjid selalu saya ikuti. Arah kiblat setiap waktu berubah-ubah tergantung posisi kapal. Biasanya setelah adzan diumumkan arah kiblat, ke arah belakang/buritan, samping kiri atau kanan, atau ke arah depan/anjungan.
Masjid luas, muat menampung ratusan orang Jemaah. Namun ketika shalat Jum;at, Jemaah meluber sampai ke dek. Bertindak sebagai iman dan khotib dipilih diantara penumpang yang sanggup dan mampu (dipilih secara tidak langsung ketika menjadi imam shalat sebelumnya).
Kalau tidak salah ingat KM Kambuna melayani pelayaran penumpang dari Medan ke Bitung. Berbagai suku bergaul dan berineraksi di atas kapal, aneka sikap-perilaku dan bahasa bercampur. Jamaah masjid pun dari berbagai golongan/aliran, namun ada toleransi tinggi di sana. Meski bukan tanpa insiden (pencurian barang orang yang sedang mandi, percobaan bunuh diri seorang penumpang, dan ketegangan antar penumpang saat antri makanan) saya mengimpikan kembali indahnya keindonesiaan sepanjang perjalanan itu.
*
Banyak masjid yang memiliki berbagai kelebihan dari segi lokasi, bangunan, fasilitas, dan keindahannya; namun masjid di atas KM Kambuna tetap menjadi favorit saya. Pada waktu itu ada juga KM Umsini yang juga memiliki masjid di dalamnya. Namun kesan saya tidak sama, karena saya berangkat bersama keluarga dan rombongan besar hingga terlalu repot dengan berbagai urusan lain.
Saya tidak tahu kondisi kapal-kapal penumpang  PT Pelni antar provinsi yang ada sekarang, tapi mudah-mudahan fasilitasnya (termasuk masjid) menjadi makin baik. Harapan lain mudah-mudahan pamor perjalanan menggunakan kapal laut dapat kembali digairahkan seperti sebelum harga tiket pesawat udara menjadi relatif mudah dan murah. ***20/5/2018
 Gambar
Keterangan: PT Pelni menghibahkan kapal-kapal penumpang-kargo kelas Kerinci ini kepada TNI AL, yaitu KM Kambuna - 14.000 GT -- Th. 1984 (menjadi KRI Tanjung Nusanive-973, 2005), dan KM Rinjani (menjadi KRI Tanjung Fatagar-974). TNI AL mengubah keduanya  menjadi kapal militer kelas angkut personel. ( Sumber )
Simak tulisan sebelumnya:
- cerpen-undangan-bukber-seorang-kerabat
- sahur-pada-keluarga-besar-dehidrasi-dan-kenangan
- takjil-ketika-berburu-dan-berburu
- prioritas-si-awam-pada-ramadan-ini
- cerpen-jelang-ramadan-comblang-dan-isteri-teroris
- siap-tidak-siap-ramadan-menjelang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H