Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Sahur pada Keluarga Besar, Dehidrasi, dan Kenangan

18 Mei 2018   23:22 Diperbarui: 18 Mei 2018   23:42 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
air putih untuk buka dan sahur/wellnessmama.com

Apa yang seru dari kegiatan sahur? Banyak. Sebuah keluarga besar, sebagaimana kondisi sepasang orantua yang mulai berkeluarga tahun 1950-an, menjalani keseruan dalam hal apapun, terlebih saat bulan Ramadan.

Dulu ketika masih usia SD dan SMP keseruan pertama dialami para orangtua. Ibu saya termasuk yang merasakannya, yaitu membangunkan anak-anak. Sembilan orang harus dibangunkan. Dan sulitnya luar biasa. Begitu digoyang-goyang kakanya, ia bangun. Namun begitu ditinggal ke dapur untuk meneruskan persiapan makan dan minum, ia sudah tersungkur kembali dengan lelapnya. Termasuk saya, tentu saja.

Tentu kami bukan keluarga dengan tradisi muslim taat. Tahun 1960-1970 kawasan sebelah timur kaki Gunung Merbabu, tempat kelahiran saya- diliputi ketegangan antara berbagai latar-belakang politik, khususnya antara muslim dengan anggota partai komunis. Keadaan itu salah satu yang menyebabkan orang cenderung mencari selamat, diantaranya dengan menjadi Islam Abangan dan menjalankan ritual Kejawen.

Anak-anak biasa bermain dengan menguras tenaga. Malam harinya kelelahan harus ditebus dengan tidur nyenyak. Oleh karena itu membuka mata dan bangun untuk sahur menjadi perkara seru. Ada yang dibangunkan lalu duduk menghadap meja makan dan meneruskan tidur, ada yang sama sekali tidak beranjak dari tempat tidur. Ibu yang sibuk kejar target memasak di dapur bila kurang sabar pasti ngomel dan setengah marah.

Akhirnya satu-persatu bangun dan menuju kamar mandi yang hanya satu-satunya pula. Maka harus antri serta saling mengingatkan untuk cepat dan jangan menghabiskan air. Kalau ada yang agak lama di dalam kamar mandi, yang lain segera berseru: "Hei. Tidurnya jangan diteruskan di kamar mandi. . .!"

Di meja makan sudah tertata gelas-gelas teh manis panas, juga piring-piring makan dengan sayur dan lauk ala kadarnya. Kalau masih ada sisa kolak atau kue-kue untuk buka puasa segera saja diserbu. Selama anak-anak makan, Ibu dan Bapak duduk di kejauhan memperhatikan sambil beristirahat. Setelah anak-anak selesai giliran orangtua makan sahur.

*

Sahur merupakan salah satu amalan yang menyertai kegiatan shaum. Tujuan sahur untuk menjadikan tubuh terjaga sepanjang siang, terutama dari kekurangan cairan. Minum air putih saaat buka maupun sahur lebih baik dibandingkan air teh dan minuman dengan pemanis lainnya. Terlebih bila siang panas terik, dan kegiatan kerja maupun aktivitas lain di dalam maupun di luar ruangan tidak berkurang intensitasnya. Bila sehari-dua hari saja hal demikian terjadi mungkin tidak mengapa, namun lama-lama bakal mengalami dehidrasi dan pasti berpengaruh pada ketahanan tubuh dan kesehatan.

Mengakhirkan sahur merupakan bentuk keutamaan, dengan pertimbangan lama berpuasa tidak lebih panjang (rata-rata 12 jam). Sedangkan ketika waktu berbuka tiba sebaiknya secepat mungkin berbuka.

Demikianpun satu hal yang perlu diingat bahwa wilayah pegunungan waktu berbukanya lebih lambat dibandingkan dengan wilayah pesisir (meskipun jadwal yang ada pada satu wilayah -kabupaten yang sama misalnya- seringkali disamakan saja). Itu sebabnya meski adzan Maghrib telah dikumandangkan pada sejumlah  masjid di sekitar rumah, saya berbuka setelah adzan disiarkan dari sebuah stasiun televisi lokal (bedanya hingga empat menit).

*

Kenangan sahur di rumah orang pun menarik untuk ditulis. Pertengahan tahun 1980 kami melakukan pengambilan gambar sebuah features di Bolaang Mongondow. Dari tujuh orang kru (termasuk pengemudi minibus), saya sendiri yang muslim.

Kebiasaan waktu itu menginap di rumah beberapa keluarga setempat (hotel belum sebanyak sekarang). Saya ditempatkan pada keluarga yang beragama Protestan. Agak bingung juga memikirkan soal sahur. Saya bersiap air putih saja (dulu belum ada warung/rumah makan buka khusus melayani orang sahur).

Sekitar pukul tiga pagi tuan rumah membangunkan saya. Bingung, ada apa? Oh, rupanya diam-diam tuan rumah telah menyiapkan makan sahur halal bagi saya. Makanan, minuman, dan kue. Luar biasa. Rupanya seorang kru memberitahukan hal ini kepada tuan rumah. Saya mengucapkan terimakasih karena telah merepotkan mereka. "Terima kasih, Tante, sudah repot-repot menyiapkan sahur untuk saya." Sampai sekarang saya tidak pernah lupa kebaikan keluarga itu.

Kenangan lain. Pertengahan 1990-an ketika ditugasi membuat materi siaran ke Indramayu ada inisiatif mencari 'human interest'. Saya dan juru kamera mengikuti rombongan Obrog. Sejumlah remaja membuat bunyi-bunyian menggunakan bedug, tong, kaleng dan panci bekas.

Aneka barang itu diusung dengan gerobak dorong, dan diikuti para penabuhnya, Variasi pukulan membentuk harmoni musik perkusi. Sambil menabuh keras-keras mereka menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan Rasulullah.

Saya merasakan betapa bising dan riuh-rendah musik yang dibawakan pada lewat tengah malam hingga menjelang sholat Subuh. Bagi yang belum terbiasa mungkin merasa sangat terganggu. Beruntung Obrog yang kami ikuti hanya lewat jalan-jalan beraspal, tidak sampai ke jalan-jalan kampung. "Lantas kapan kalian sendiri makan sahur?" Tanya saya kepada pimpinan rombongan. "Kalau ada keluarga atau pengurus masjid yang berbaik hati mengundang kami. . ..!"

Kenangan satu lagi. Pernah pada satu waktu sekitar tahun 1970-an, setelah makan sahur dan berjamaah sholat Subuh di masjid Sulthoni dilanjutkan dengan aksi saling lempar petasan. Lalu lintas dan suasana Jalan Malioboro pagi itu masih sepi. Dua kelompok anak berdiri berseberangan. Rupanya aksi perang petasan malam hari setelah sholat tarawih belum selesai. Saya melihat dari kejauhan saja sambil tersenyum, "Entah bagaimana jadinya kalau petasan yang dilempar orang masuk ke dalam sarung lawan, dan meledak di sana. . . .!"

*

Setelah menjadi orangtua, sesekali terasa kesalnya menghadapi anak-anak yang sulit dibangunkan untuk sahur. Situasi seperti masa kecil berulang, orangtua sibuk mempersiapkan untuk makan-minum dan sahur, sedangkan anak-anak (tidak sebanyak dulu, tiga orang) tinggal merepoti saja.

Persoalan dulu beda dengan sekarang, sebab tiap anak punya kamar sendiri-sendiri. jadi membangunkan pun tidak lebih gampang. Jadi apa serunya? Serunya tidak dirasakan oleh anak-anak, tetapi dipendam sendiri para orangtua. Saya dan isteri merasa seru sendiri, tepatnya repot. Jelang Lebaran berarti: persiapan aneka kue dan masakan, pakaian baru, biaya mudik, dan bekal uang yang cukup. 

Itu saja aneka cerita seputar sahur dan keseruan yang saya rasa dan lihat.***18/5/2018

 Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun