Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Siap Tidak Siap, Ramadan Menjelang

16 Mei 2018   00:51 Diperbarui: 16 Mei 2018   01:05 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana siang dan malam, kedatangan bulan baru merupakan hal biasa. Namun demikian sebenarnya tiap-tiap bulan dalam kalender Hijriah memiliki makna yang berbeda-beda. Yang paling beda dan sangat khusus yaitu bulan suci Ramadan. Bagi muslim-muslimah Ramadan sangat ditunggu-tunggu karena keagungannya.

Menunggu sambil mempersiapkan diri --fisik dan rohani-, menunggu termangu-mangu sambil harap-harap cemas apakah masih diberi umur sampai Ramadan tiba. Sebab siapa tahu malaikat Izrail telah lebih dahulu menjemput. Menunggu dengan segenap harapan yang dapat diraih dan mampu memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya atas kedatangannya.

Demikian kesadaran kecil yang timbul dalam pikiran saya saat ini. Kesadaran yang harus terus saya pupuk agar mampu selalu bersyukur dan bertawakal menjalani sisa hidup. Kesadaran karena bekal ilmu agama yang terbatas, dan terutama karena umur yang makin uzur sedangkan bekal untuk pulang masih sangat terbatas.

Ramadan sebagai bulan dengan penuh keistimewaan selalu menjadi salah satu harapan untuk membawa bekal sebanyak-banyaknya. Saya pernah membaca tulisan seorang ulama yang menyebutkan bahwa setiap orang yang meninggal dengan berbagai alasan akan menyesal.orang yang tidak beriman menyesal karena kekafirannya, orang yang sedikit bekal menyesal kenapa tidak membawa banyak-banyak, namun yang membawa banyakpun menyesal karena kesempatan untuk membawa bekal lebih banyak lagi tidak dimanfaatkan.

Nilai ibadah dan muamalah yang dilakukan seseroang selama bulan suci berlipat-lipat pahalanya, dan itu yang dikejar setiap muslim-muslimah. Dan ntuk mengejarnya diperlukan persiapan. Fisik yang sehat menjadikan ibadah tenang-ikhlas-khusuk, dan tertuama juga tahan lama. Untuk mendapatkan kondisi fisik prima diperlukan makanan yang memadai sesuai kriteria empat sehat lima sempurna ditambah susu. Makanan yang baik (sehat dan bergizi), serta halal tentu  saja. Lalu melengkapinya dengan berolahraga yang teratur, dan terutama juga menjaga kesehatan mental.

Kesehatan mental, atau batin, sangat mendukung ibadah yang bernilai khusus ini. para penceramah akan mengatakan bahwa semua amal-ibadah ssangat jelas ukuran pahala yang didapat. Tetapi khusus shaum pada bulan suci Ramadan maka Allah sendiri yang akan memberikan pahalanya.

Dengan demikian mengusahakan diri sehat secara jasmani yang didukung oleh kesehatan mental/rohani akan memunculkan pelaksanaan ibadah dan muamalah yang lebih baik. Dengan kata lain, amal ibadah yang dilakukan dengan jiwa yang suci mampu melahirkan keikhlasan, kesabaran, ketawakkalan, dan amalan-amalan hati lainnya yang bermuara pada jenjang ibadah lebih baik dan terbaik.

Saya menyadari sejak muda bukan orang yang suka olahraga, dan tidak memiliki hobi olahraga tertentu. Namun Alhamdulillah sampai umur kepala enam saat ini tidak ada keluhan yang berarti, tidak ada ketergantungan obat tertentu, dan tidak terlalu pantang makanan. Sedang soal kewarasan, alias kesehatan rohani, memang orang lain dan terutama dokter kejiwaa yang dapat menilai. Tapi rasa-rasanya seya masih sehat, ada sedikit tres mungkin lumrah terlebih seorang pensiunan selalu dalam kondisi prihatin dari segi pendapatan.

Oleh karena itu ketika para pemuka agama dalam ceramah mereka sangat mengharapkan agar muslim-muslimah sebanyak mungkin membelanjakan rezekinya di jalan Allah: sedekah, menyumbang takjil di masjid, menyantuni anak yatim, dan anek bentuk amaliah lain; saya harus mawas diri untuk tidak terlalu bersemangat menanggapinya. Dengan kata lain, niat dan kesanggupan memang besar, tetapi kemampuan sangat tidak memadai. Tapi tentu masih banyak cara lain untuk beramaliah.

Terkait hal ini saya berpendapat, mestinya Pemerintah tidak perlu memberi 'tunjangan hari raya/thr' kepada para pensiunan. Mungkin jumlahnya sama namun yang diberikan adalah 'tunjangan untuk beramaliah/tub' pada setiap awal Ramadan. Sebab hari raya bagi pensiunan sudah tidak perlu pakaian baru, makanan berlimpah, dan apalagi pulang kampung/berwisata. Yang lebih diprioritasnya justru berbuat amal sejal awal Ramadan.

Melengkapi kesehatan jasmani dan rohani yang baik, yang harus dipersiapkan sebelum, selama dan sesudah Ramadan, yaitu mendalami fikih shaum. Ini persiapan bagi para awam tentu saja, yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang terbatas. Termasuk saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun