Mudah-mudahan Dewan Pers dan PWI mencermati dan bila perlu melakukan pembenahan agar kejadian serupa tidak terulang.
JawaPos.com sendiri rasanya perlu mengevaluasi kinerja para jurnalis, reporter, bahkan Pimpinan Redaksinya. Bila tidak cepat berbenah bukan tidak mungkin orang berpendapat, bahwa kebijakan redaksional Jawa Pos: dekat dengan satu parpol oposisi tertentu, atau memiliki kedekatan dengan pembuat konten hoaks di luar sana.
Nasihat kuno ini mestinya tetap dipegang erat. Kritis memang perlu, menjadi pionir dalam pemberitan memang penting, tapi kehati-hatian media massa dengan konfirmasi harusnya dinomor-satukan. Jurnalis yang tidak lulus Uji Kompetensi Wartawan pun tahu itu. Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Waktu nanti yang akan mengungkap gamblang mengapa. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â *
Bila Jawa Pos, tidak cepat berbenah maka akan menambah panjang daftar media mainstream yang di bawah/milik (petinggi) Â parpol tertentu. TV One, Indosiar, Grup MNC, Republika, dan lainnya mendahului. Media massa lain pun mungkin akan mengambil sikap serupa. Tahun politik membuat para awak media cenderung memilih untuk menjauhi prinsip-prinsip dasar bermedia massa.
Permintaan maaf sudah dilakukan. Dan pembaca akan maklum bahwa itu semua semata kesalahan tak sengaja. Namun pembaca akan mengingat dan menilai apakah kesalahan yang sama tidak dilakukan pada masa mendatang.
Seperti anggota MCA yang telah tercyduk dan kemudian meringkuk sebagai pesakitan, JawaPos.com pun menyatakan 'minta maaf'. Kepada siapa? Tidak diperinci kepada siapa. Tetapi mungkin saja kepada kelompok orang yang terlanjur berpesta-pora karena meyakini berita itu benar, kepada yang terlanjur menambah tensi hujatannya terhadap siapapun yang selama ini dibencinya, kepada mereka yang tidak percaya bahwa berita itu ternyata hoaks, dan terutama kepada Ahoker yang telah difitnah sedemikian rupa.
Maaf. Kata yang gampang, praktis, dan dapat dengan cepat diucapkan. Tetapi kebanyakan orang mengucapkannya sebagai basa-basi, pemanis bibir, formalitas, dan ya sekadar untuk menutupi malu. Tapi mudah-mudahan tidak.
Mudah-mudahan ungkapan itu jujur-ikhlas dari hati nurani terdalam. Sayangnya, dibaca berulang-ulang pun pernyataan permintaan maaf JawaPos.com tidak menyebutkan niatan untuk meralat 'kekeliruan mendasar' yang membuatnya minta maaf, bahwa 'MCA bukan Ahoker'. Ironis.
Begitulah. . . !
***6/3/18***
** Â Sumber