Salat merupakan kewajiban setiap muslim-muslimah. Dimana dan kapanpun berada sholat dilakukan (seusai waktu salat setempat). Namun dalam perjalanan panjang seringkali arah kiblat tidak diketahui dengan pasti. Ketika naik kereta api, naik kapal laut, terlebih naik pesawat udara, kiblat menjadi sesuatu yang tidak mudah ditentukan.
Demikian pun ada cara-cara tertentu, misalkan untuk penumpang kapal laut arah kiblat dicari dengan menggunakan kompas beberapa saat sebelum salat berjamaah dilaksanakan. Setelah ditemukan pengurus masjid mengubah kain panjang putih (lebar sekitar 25 sentimater) membentuk garis-garis untuk shaf. Dengan begitu arah salat sering menghadap samping kanan pada pagi hari, sore berubah ke samping kiri, lalu malam hari berubah lagi ke arah buritan, dan seterusnya. Setiap saktu salat berjamaah dapat berubah-ubah.
Untuk penumpang kereta api serta pesawat udara yang hendak melakukan sholat tidak punya pilihan lain kecuali dengan duduk di tempat duduknya, ke arah mana pun ia menghadap. Baik salat yang harus berusaha untuk tepat menghadap kiblat maupun yang menghadap ke arah mana saja (dengan kondisi tertentu) ada dalilnya dalam Al Qur’an.
Barat, Mekah
Dalam melakukan sholat harus menghadap arah yang tepat, yaitu kiblat. Di mana itu kiblat? Allah berfirman, yang artinya : “Dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya” (QS. al-Baqarah: 150).
Tahun 2010 MUI pernah mengeluarkan fatwa bahwa arah kiblat itu barat. Oleh karena itu pembangunan masjid-masjid pun kala itu (dan mungkin tahun-tahun sebelumnya) menentukan kiblatnya ke arah barat. Ketika seseorang di tempat yang baru (dalam perjalanan, atau suatu keperluan di kota lain) akan bertanya dengan pertanyaan yang lebih disederhanakan, yaitu ‘kemanakah ke arah barat?’ Pertanyaan itu biasanya ditujukan kepada seseorang yang diperkirakan non-muslim.
Padahal kata ‘barat’ punya konotasi sendiri, diantaranya yaitu Eropa, bangsa kulit putih, non-muslim, bangsa yang maju, dan seterusnya. Tentu saja pada kejadian itu terdapat dua kesalahan sekaligus, yaitu salah arah (ke Afrika, yaitu negara Somalia Selatan, Kenya dan Tanzania), dan salah penafsiaran (seolah-olah muslim berkiblat ke bangsa kulit putih).
Beberapa waktu kemudian fatwa itu dikoreksi menjadi barat laut, atau barat dengvan kemiringan beberapa derajat ke utara. Mengenai berapa derajat kemiringan/bergeser ke utara tergantung letak daerah masing-masing. Satu kawasan di Pulau Jawa berbeda dibandingkan dengan kawasan lain di Kalimantan atau Sulawesi yang letaknya lebih ke utara.
Dengan perbaikan arah kiblat itu diharapkan akan menghadap ke Ka’bah, yang terletak di Masjid Al-Haram, Mekah. Persoalan arah kiblat ini menjadi hal yang krusial sebab menghadap kiblat merupakan salah satu rukun salat. Dan kiblat itu Ka’bah. Muslim di negara-negara yang berbeda-beda di dunia harus mencari sendiri ke arah mana kiblat berada.
Memperbaiki Kiblat, Masjid-Rumah
Terkait dengan arah kiblat itu, Kementerian Agama (Kemenag) mengumumkan bahwa Minggu (28/5/2017) besok matahari akan melintas tepat di atas Ka’bah. Momen ini bisa digunakan untuk memperbaiki arah kiblat.
Lebih lanjut dijelaskan, peristiwa alam ini akan terjadi pada pukul 16.18 WIB atau 17.18 Wita. Momentum ini semestinya digunakan bagi umat Islam untuk memverifikasi kembali arah kiblatnya. Caranya adalah menyesuaikan arah kiblat dengan arah bayang-bayang benda pada saat Rashdul Qiblah.
Perbaikan tidak hanya perlu untuk memperbaiki letak sajadah di masjid (jadi tidak harus membongkar bangunan masjid), tetapi juga letak sajadah di rumah (untuk salat wajib-sunah bagi para isteri dan perempuan, serta salat sunah bagia parfa lelaki).
Terkait dengan imbauan memperbaiki arah kiblat itu, banyak masjid yang sudah melakukannya. Ketika singgah ke masjid dalam perjalanan dari Bandung ke Yogya saya melihat ada sejumlah masjid yang sudah menggeser letak sajadah sehingga tidak tepat sejajar menghadap tembok. Namun banyak juga yang tetap bertahan.
Saya pernah bertanya kepada ketua DKM sebuah masjid di Kecamatan Cepiring Kendal mengapa tidak memperbaiki arah kiblat, dijawabnya bahwa soal arah kiblat itu sudah ditentukan sejak awal pembangunan fisik masjid (belasan/puluhan tahun lalu). Bahkan lebih jauh ia mengatakan soal kiblat itu sangat tergantung pada keyakinan kita masing-masing.
Bahkan dalam sebuah ceramah di Bandung belum lama ini, seorang pimpinan pondok pesantren menyindir pengurus masjid yang harus menggeser-geser letak sajadah (mengakibatkan banyak ruang kosong) sehingga jumlah jamaah yang tertampung di dalam masjid berkurang.
Penutup
Bukan hanya dalam salat, dalam semua bidang kehidupan pun seseorang harus mendapatkan ‘kiblat’ yang benar. Kiblat salat menjadi salah satu penentu sah-nya salat. ‘Kiblat’ dalam bidang kehidupan pun menentukan arah seseorang dalam berproses untuk menuju keberhasilan, baik keberhasilan menggapai dunia maupun akhirat.
Itu saja pemahaman saya sebagai awam terkait kiblat. Mohon maaf kurang dan salahnya. Semoga bermanfaat.***
Bandung, 28 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H