Menulis buku itu bukan hal sulit. Namun tentu perlu syarat-syarat tertentu, diantaranya rajin dan banyak bersosialisasi, menggali-mencermati dan mencatat, sebelum kemudian meluangkan waktu cukup banyak untuk menuliskannya. Widyarka Ryananta salah satunya yang membuktikan hal itu.
Bermula dari keinginan agar kegiatan Konsulat Jenderal RI di Noumea dapat diketahui masyarakat luas di tanah air. Dari berbagai laporan resmi yang dikirimkan ke Kementerian Luar Negeri, beberapa diantaranya yang mempunyai nilai berita diubahnya menjadi press-release, kemudian dikirimkan pada sejumlah portal berita di tanah air. Mengetahui saya seorang Kompasianer, sebagai teman lama ia mengirimi saya juga. Selanjutnya tulisan itu saya ubah secukupnya untuk saya kirim ke Kompasiana. Tidak kurang 23 tulisan telah terposting di sana.
Dari tulisan press-release ditambah banyak catatan pribadi, Widyarka pada tiga bulan sebelum masa purna bakti (ditengah-tengah kesibukannya yang padat) menuliskannya kembali. Pengetahuan-pengalaman-pergaulan langsung dengan beragam lapisan masyarakat di New Caledonia disertai empati dan antuasiasme, ditambah lagi dengan pendalaman literer yang memadai, menjadikannya percaya diri untuk menuliskannya menjadi buku “Jejak Orang Jawa di New Caledonia’.
Isi buku selain sejarah kedatangan orang Jawa di New Caledonia dan serpihan upaya pelestarian adat-budaya Jawa, juga berbagai prestasi keturunan orang Jawa/Indonesia di sana. Ada catatan kedatangan Sri Sultan Hamengku Bowono X, serta beberapa peristiwa terkait dengan hubungan RI – New Caledonia. Kawasan itu merupakan kepulauan di sebelah timur Benua Australia, sebelah selatan Samudra Pasifik, atau sekitar 3 jam perjalanan udara dari Sydney.
Koeli Kontrak, Sekat Suku-Agama
Ketika nama Indonesia belum terbentuk, orang-orang Jawa sudah harus merantau jauh karena alasan yang sangat tidak menyenangkan. Menyebut kata ‘koeli kontrak’ tak dapat dipisahkan dari cerita kelam masa lalu, lebih seabad silam. Penjajah Belanda memanfaatkan karakter orang Jawa yang penurut dan pekerja keras untuk menjadi ‘koeli’, buruh kasar, orang suruhan, dan bahkan budak. Orang-orang Jawa kala itu karena alasan untuk mencari penghidupan yang lebih baik terbujuk janji manis untuk meninggalkan tanah air menuju negara lain yang sangat jauh. Selain dikirim untuk menjadi pekerja perkebunan dan pertambangan ke Suriname (jajahan Belanda), para pekerja ada juga yang dikirim ke Kaledonia Baru (jajahan Prancis). Janji-janji yang mereka peroleh berupa besaran upah tertentu, fasilitas kerja, hingga kelayakan hidup, ternyata tidak ditepati.
Perkembangan kehidupan dan kesejahteraan orang-orang keturunan Jawa di sana antara lain disebabkan oleh pola kehidupan warga (bukan hanya yang berkulit putih) yang berorientasi ke Eropa (khususnya Prancis). Selain itu terjadinya kawin-campur ternyata mampu menghilangkan sekat-sekat perbedaan suku-agama-budaya dan asal-usul di New Caledonia.
Kawin Campur, Jati Diri
Pada tulisan berjudul ‘Kesaksian Marie-Jo Siban’ (h. 30), disebutkan bahwa Marie-Jo Siban sebagai pendiri dan mantan Ketua Persatuan Masyarakat Indonesia dan Keturunannya (PMIK) menjadi tempat bertanya generasi penerus Orang Jawa yang sudah berasimilasi dan kawin-campur dengan komunitas lain. Bahkan ia menjadi saksi bahwa, ditengah peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan yang dinikmati, banyak diantara keturunan Jawa yang mulai mencari jati diri, asal-usul, serta ingin melestarikan tradisi leluhur mereka.
Adanya kawin-campur dengan etnis pendatang sesama Asia Tenggara, etnis asli (Suku Kanak), maupun pendatang dari Eropa menjadikan banyak diantara keturunan orang Jawa yang beragama non-muslim. Misalnya keluarga besar Kartono Poniman (75 tahun, Islam abangan) pada tulisan berjudul ‘Amin. . . . amin, Tahlilan dan Ingkung’ (h. 52) yang memamerkan keluarga besarnya, dari 6 (enam) orang anaknya hanya seorang anak yang menikah dengan sesama keturunan orang Jawa, 5 (lima) anak lainnya menikah dengan keturunan Eropa dan Wallis Futuna dengan agama berbeda-beda.
Kawin-campur, berubah nama dan agama, orientasi kehidupan dan gaya hidup berbeda serta beberapa alasan lain, menyebabkan keturunan orang Jawa di New Caledonia semakin jauh dari akar budaya mereka. Kesadaran untuk menggali akar budaya dan tata kehidupan orang Jawa tercetus kembali pada tahun 1996, ketika untuk pertama kali diadakan peringatan 100 tahun kedatangan orang Jawa di New Caledonia. 20 tahun kemudian, sepanjang tahun 2016, dilaksanakan perayaan secara besar-besaran kedatangan leluhur dari Jawa antara lain karena dukungan Widyarka Ryananta sebagai Konsul Jenderal setempat. Hal itu lebih memacu lagi penggalian jati diri dan keunggulan falsafah Jawa bersanding dengan kehidupan suku-suku lain di sana.
Penulisan buku “Jejak Orang Jawa di New Caledonia’ oleh Widyarka Ryananta mendapat apresiasi para tokoh Diaspora Jawa di New Caledonia serta berbagai pihak di Kemenlu, termasuk Menlu. Menteri Luar Negeri RI Retno L.P. Marsudi dalam kata pengantarnya mengatakan, “Keberadaan keturunan Jawa di Suriname telah banyak diketahui orang, namun belum banyak orang yang memahami keberadaan kekturunan Jawa di Kaledonia Baru”. Selanjutnya Menlu menyatakan, “Saya berharap informasi dalam buku ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai sejarah penyebaran orang Jawa dan kontribusinya dalam hubungan bilateral Indonesia dengan Kaledonia Baru”.