Pademo harus digotong ke rumahnya selepas Isya’. Repot sekali menggotong tubuh besar di gang sempit. Rumah Pademo menjorok jauh di perkampungan kumuh, tersembunyi dekat sungai besar yang sering banjir. Mabuk berat ternyata membuat Pademo seperti orang linglung, mati rasa, dan hilang ingatan. Ketika sadar dari siuman ia merangung-raung minta disediakan kembang mawar dan melati. Orang-orang yang membantu Pademo ke rumah seketika kaget. Orang yang makan kembang tak lain orang yang kesurupan. Ya, tidak dapat dibantah lagi ketika mereka melihat mata Pademo memerah saga terbeliak-beliak, kadang tinggal putihnya saja. Suaranya pun jadi keras dan asing, seperti orang menggeram dilanda kemarahan yang memuncak.
“Ambilkan aku kembang mawar dan melati dalam segelas air. Ayo cepat. Aku lapar. . . . .!” ucap Pademo patah-patah. “Aku rindu harumnya, aku suka rasanya. Aku lapar. . . . .!”
“Mana enak makan kembang?” tanya Nurmali, isteri pertama Pademo ketika mendekat dan membawakan segelas kopi panas. “Nih, minum kopi manis saja dulu. Mumpung masih panas. . . . . !”
“Aku lapar, tidak haus. Kembang, mana kembang!” teriak Pademo menyahut. Namun tak urung diminumnya juga kopi panas itu cepat-cepat. Tidak ada tanda-tanda mulut dan lidahnya merasa kepanasan. Setelah itu berteriak lagi. “Mana kembang?”
“Sedang dicari. Tapi mungkin cuma ada kembang sepatu, flamboyant, atau kembang pepaya. Itu yang mudah dicari di sekitar sini. . . .!” ucap Jalupa, anak pertama Nurmali.
“Mawar dan melati. . . . .!” jawab Pademo dengan mendengus-dengus.
Sepanjang malam Pademo kalap, membanting-banting diri, terus merutuk-rutuk seperti orang mengigau. Menggeram seperti harimau kelaparan. Sesekali ia berlari ke luar rumah. Merusak apa saja yang ada dihadapannya. Lalu kembali masuk rumah, dan membanting-banting perabotan yang ditemuinya. Semua jadi rusak berantakan. Anak-anak dan isteri Pademo diungsikan. Beberapa tetua kampung didatangkan dengan harapan dapat menyembuhkan, atau setidaknya meredakan amukannya. Namun semua usaha itu sia-sia.
Ketika Icik Kiwir mampir untuk melihat perkembangan kondisi sohibnya Pademo, ia segera tahu apa yang harus dilakukan. Pedemo perlu tukang mengobati orang kesurupan. Ada seorang pemuka agama yang terkenal akan kemampuannya soal itu. Ke sana si Icik melangkah setengah berlari. Betapapun Pademo adalah teman karibnya, teman sesama tukang ojeg sejak lama. Ia menganggap Pademo seperti seorang komandan dalam sebuah kesatuan militer, meski seringkali lelaki itu suka kalap membentak-bentak gara-gara pendengarannya terganggu.
***
Lelaki itu tinggi besar, berjenggot lebat dengan kumis rapi abu-abu. Ia mengenakan topi laken, juga jubah panjang serba hitam. Suaranya rendah dan tertata, namun agak gagap seperti orang mabuk. Di belakangnya Icik Kiwir mengikuti si lelaki berjubah. Itu suatu kebetulan saja sebenarnya. Icik hendak memanggil Ustad Hanafi yang sering dimintai tolong bila ada orang kesurupan. Namun di tengah jalan ia ketemu lelaki itu.
“Ada yang bisa kubantu, Sobat? Kulihat mukamu tampak sedih dan kalut . . . . .!” gumam Lelaki tua itu lebih dahulu menyapa.
“Seorang kawan kesurupan, Kek. Mungkin sampeyan mampu menyembuhkannya?” tanya Icik Kiwir begitu saja. Itu pertanyaan ke lima yang dilontarkannya kepada setiap orang yang ditemuinya di perjalanan.
Tanpa menjawab ya atau tidak, lelaki berjubah hitam itu menuntun Icik Kawir untuk menunjukkan arah kembali. Dan itu sebabnya dua orang itu kini berada di rumah Pademo.
Di ruang tengah yang tak seberapa luas, Pademo tertelungkup sambil mendesis-desis serupa ular dan meracau. Lain waktu menguik mirip suara bayi celeng. Begitu di depan Pademo sekejap lelaki berjubah hitam itu memegang telapak tangan Pademo dan menghardik. “Hei, jin terkutuk . . . . . siapa namamu? Dari mana asalmu?”
Beberapa lelaki mendekat, membantu memegangi kaki dan tangan Pademo yang terus memberontak dan berteriak-teriak. Tak dapat dicegah para tetangga pun berkumpul. Empat isteri dan sembilan anak yang berkumpul dalam satu rumah tak kalah panik. Tapi bukannya membantu, mereka malah pergi diam-diam, sendiri-sendiri.
Setengah jam berlalu, Pademo masing terbanting-banting diri dan tidak mau mengaku. Akhirnya dari mulut Pademo keluar ucapan mengagetkan: “Akulah si Genjik. Akulah yang selalu menjadi gunjingan warga kampung dengan berbagai fitnah dan cemoohan. . . . . .!”
Kakek Jubah Hitam membaca ayat-ayat suci pengusir setan. Membaca dan merapal diulang-ulang. Hingga tubuh Pademo kelojotan, mulut berbuih, mata melotot, tangan dan kaki kejang-kejang. Lalu lemas, seperti lumpuh. Keringat berleleran. Orang-orang menyibak sebab si Jubah Hitam yang tadi terduduk bersila tiba-tiba berdiri.
“Ingatkan padanya setelah ini, jangan pernah lagi berburuk sangka pada si Genjik, nama yang disebutnya tadi. Mahluk halus itu tidak terima namanya jadi bahan gunjingan. . . . .!” ucap Kakek Jubah Hitam.
Orang-orang terdiam, dan baru menyadari selama ini Pademo memang paling rajin bergunjing tentang mahluk bernama si Genjik, entah siapa dia. Sesaat kemudian empat isteri dan anak-anak Pademo datang dan ikut merubung. Nurmali, isteri pertama Pademo mendekati Kakek Jubah Hitam dan bertanya, “Lalu siapa sebenarnya kakek ini?”
“Saya? Penggembala si Genjik. . . . .!” ucap lelaki itu seraya melangkah cepat keluar rumah, berjalan menyusuri gang yang berpenerangan seadanya, lalu menghilang di tikungan. Icik Kiwir yang mengejar sampai tikungan menyatakan hal itu.
Nurmali pun ingin bertanya lagi pada si kakek, namun ia tak sanggup mengejar. Orang-orang juga heran, dan mereka bubar tak lama kemudian. Sejak itu Pademo menjadi orang yang berbeda. Ia bisa berhari-hari menghilang entah kemana, ketika pulang sudah membawa gepokan uang warna merah. Namun agaknya ia belum benar-benar sembuh dari pengaruh mahluk halus. Kelakuannya makin aneh, gerak-geriknya tak lazim, wajahnya datar tanpa ekspresi, suaranya besar sesekali, dan mengaku namanya si Genjik. Ia bahkan sesumbar mempunyai isteri banyak, selingkuhan banyak.
Warga Kampung Sengkarut tidak mudah percaya pada sosok Genjik mahluk halus yang telah menyatu pada diri Pademo. Mereka pun sangat tidak yakin dengan isu yang beredar bahwa si Genjik punya banyak isteri dan selingkuhan. Para lelaki pun terlanjur was-was pada nasib isteri dan anak-anak perempuan mereka, takut menjadi korban berikutnya. Terlebih ketika ada yang melihat betapa banyak uang Pademo, mereka tak heran banyak perempuan yang cinta mati pada si Genjik!. ***
Cibaduyut, 21 – 30 Maret 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H