Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Cinta Mati pada Si Genjik (Satu)

27 Maret 2017   14:54 Diperbarui: 29 Maret 2017   07:00 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tapak kaki satwa berkaki empat

“Ya apa saja, apa boleh buat? Yang penting punya pasangan! Kalau saja isteriku baru tiga aku pasti memperistrimu agar makanku tiap hari gratis. . . . .hehehh!” ucap Pademo ketika menerima sepiring penuh nasi dengan aneka lauk dan sayur kuahnya dari tangan Neng Surati yang sangat senang mendengar candaan Pademo.

“Biar saja. Aku mau jadi isteri kelimamu!” bisik Neng Surati di telinga Pademo.  

Pedemo hanya terkekeh. Namun Pak Tua justru yang menyahut, “Kenapa tidak denganku saja, Neng. Isteriku baru satu, dan sudah uzur. Hartaku banyak. . . .  .!”

Neng Surati tidak menoleh. Lelaki tua itupun tertawa saja. Gigi depannya sudah habis, kala tertawa yang tampak tinggal gusi kehitaman. Pademo tidak menanggapi. Ia sedang asyik menyantap makanannya dengan lahap. Suapan sesendok demmi sesendok  besar, kunyah-kunyah. Lalu digigitnya keripik tempe, kunyah cepat, dan telan. Oya, cabe rawit tidak lupa. Setelah beberapa suapan dan kunyah, lelaki kekar berkulit hitam itu meneguk teh pahit.

“Aku dengar si Genjik isterinya banyak, begitu pula selingkuhannya. Meski tak jelas jenis kelaminnya, si Genjik sangat digilai perempuan. Konon ia punya ajian ‘tugu monas’.. . . . .!”  tanya Neng Surati kemudian.

“Ajian apa itu? Aneh! Ajian penakluk perempuan?” ucap Pademo terkekeh pada suapan berikutnya, sampai terbatuk-batuk.

Surat mengerutkan kening. Pademo kembali sibuk dengan nasi dan lauknya, mengunyah, dan mengerjap-ngerjapkan matanya karena kepedasan. Kebiasaannya, setiap sesuap nasi maka sebutir cabe rawit dikunyahnya. Jadi kalau ada dua puluh kali suapan berarti ada dua puluh butir cabe. . .!

Begitu piring kosong, reaksi panas, membakar, dan mencekik leher segera terasa. Akibatnya fatal. Kalau orang lain mabuk kendaraan, atau mabuk asmara, sementara orang lain mabuk miras dan narkoba, maka Pademo mabuk cabe. Selain pedas luar biasa yang dirasa  membakar hangus dinding perutnya, ternyata tukang ojeg itu harus membayar lebih pada makanan yang dipesannya.

Sebutir cabe berharga dua ribu rupiah. Ampun mahalnya. Ia harus rela membayar lima puluh ribu rupiah. Sepuluh ribu untuk nasi dengan  sayur tahu dan sepotong telor mata sapi, ditambah empat puluh ribu rupiah untuk cabe. . . . ! Utang seratus dua puluh ribu rupiah belum terbayar, ini malah tambah lagi lima puluh lima ribu rupiah. Tobat! Mendadak Pademo terguling-guling di lantai warung  dengan mulut berbusa-busa seperti keracunan, ia betul-betul mabuk cabe! *** (bersambung).
Cibaduyut, 21 – 27 Maret 2017

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun