Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Cinta Mati pada Si Genjik (Satu)

27 Maret 2017   14:54 Diperbarui: 29 Maret 2017   07:00 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pademo bergegas menaiki motornya, menstater, dikuti suara knalpot menderum. Menunggu beberapa saat, lalu motor Pademo pun melaju ke arah Selatan. Ia merasa aneh, ketemu dua orang budeg hari itu baginya pertanda kurang beruntung. Maka ia harus cepat pergi, menjauh kemana saja. Si Perempuan yang memerlukan jasa ojeg bengong. Sebaliknya Icik Kiwir tersenyum nakal.

***

Meski hanya seorang tukang ojeg, Pademo punya rasa percaya diri untuk berpendapat yang tidak lazim. Pendapat yang mengherankan dan sering mengagetkan orang lain. “Seperti juga ungkapan lama ‘banyak anak banyak rezeki’, sebenarnyalah banyak isteri pun berarti banyak rezeki. Orang lain boleh saja nggak percaya dan membenciku soal itu. tapi aku sendiri sudah mengalaminya. . . . . .!” ucap Pademo setiap kali, setengah membual.

Dan siang itu celotehnya diulang di Warung Tegal ‘Barok - Ah’ yang lagi sepi.

“Repot, ribut, dan kacau? Dan itu berarti, banyak isteri banyak masalah. . . . . .!” sahut Neng Surati menanggapi, seraya berdiri untuk melayani.

“Banyak rezeki! Bodoh!” jawab Pedemo sengit.  “Kamu tahu, isteriku empat dan keempatnya bekerja biar cuma pelayan restoran, buruh jahit dan penjual makanan di kaki lima. Anak sembilan terurus semua. Aku sendiri tidak punya pekerjaan selain sebagai tukang ojeg. . . . .!”

Pademo melangkah ke tempat duduk. Hanya ada seorang tua renta di bangku kayu panjang itu. Pademo melirik sepintas pada Pak Tua, lalu duduk bersisihan. Keduanya menghadapi aneka masakan dan makanan khas Warteg.

“Semua orang juga tahu hobimu di jalanan.  Sangat cocok jadi tukang ojeg. Lagian ke sembilan anak itu bukankah bawaan isterimu dengan suami terdahulu. Dengan kata lain kamu belum punya anak seorang pun. . . . .!” Neng Surati berkata lirih namun sangat tajam menyindir.

Perempuan jomblo setengah umur itu selalu sinis pada lelaki manapun, terlebih yang berpoligami dan tidak mau melirik dirinya.  Pademo terdiam. Ia tidak marah, tepatnya tidak boleh marah. Sebab hanya Warteg Neng Surati yang masih mau memberinya utang. Kalah omongan, Pademo ingin segera mengubah topik pembicaraan. Mendadak ia ingat cerita warga kampung Sengkarut tentang kemunculan si Genjik.

“Kamu tahu nggak apa saja kehebatan di Genjik?” pancing Pademo. ”Kenapa kamu tidak datang pada si Genjik saja, lalu minta dicarikan jodoh?”

“Minta tolong dia? Atau berjodoh dengan manusia jadi-jadian itu?” jawab Neng Surati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun