Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Alasan Berdonor, Kesehatan, dan Ajakan

15 Maret 2017   20:59 Diperbarui: 16 Maret 2017   06:00 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang tadi saya berdonor kembali. Saya merasa sehat dan siap untuk melakukan donor darah. Pertama kali saya berdonor pada 23 Oktober 2004. Tempatnya di  ruang depan Masjid Babbussalam di Komplek Perumahan Cibaduyut dengan petugas dari mobil unit  PMI Kota Bandung. Selama 13 tahun kemudian rutin saya berdonor, beberapa kali saja saya melanggar jadwal.

Saya ‘terpaksa’ untuk melakukan donor darah karena terinspirasi dari kondisi isteri yang sakit.  Beberapa kali saya mengurus pengambilan darah di PMI untuk transfusi yang dilakukan isteri. Ia menderita gagal ginjal. Penyakit asam urat mengharuskannya rutin mengonsumsi obat dokter. Efek sampingnya pada kesehatan ginjal. Kondisi kratinin pada urine yang menunjukkan kondisi ginjal terus meningkat. Ketika kratinin menunjuk angka enam, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan hemodialisa (HD), yang dalam bahasa awam ‘cuci darah’.

Kemana pun kami pergi tujuan pertama adalah rumah sakit yang menyediakan fasilitas HD. Ke Yogya, Solo, Manado, Jakarta, selain di Bandung. Dua kali seminggu kami bolak-balik ke rumah sakit, dan itu cukup melelahkan. Belum lagi setiap kali ia harus merasakan sakitnya jarum suntik yang ditusukkan pada bagian tubuhnya yang makin kurus.

Dengan alasan itu isteri punya pikiran untuk berganti dengan metode pencucian darah yang lain yaitu dengan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis), yaitu suatu metode yang dikembangkan untuk menghilangkan racun dan kelebihan air dari tubuh manusia.

Cara itu diawali dengan operasi pasang cateter di perut pasien agar bisa melakukan refil (isi ulang) cairan dianeal ke dalam perut. Saat operasi itu kondisi isteri membutuhkan beberapa kali transfusi darah.

***

Saya sudah mempersiapkan diri dengan waktu tidur yang cukup. Yaitu minimal enam jam. Juga sarapan pagi. Dan terutama tidak mengonsumsi obat-obatan. Tiga hal itu yang ditanyakan oleh dokter yang melakukan tensi.

Alhamdulillah setelah diperiksa kondisi tensi , nadi, suhu dan berat badan memenuhi syarat untuk berdonor.  Tensi 120 per 80, berat badan 73 kilogram. Darah yang akan diambil 350 cc. Dari petugas pencatat HB setelah diambil sampel darah dari tangan kanan ujung jari tengah didapati angka 14,9. Dan itu masih di atas ambang batas 12,5 untuk laki-laki. 

Sambil duduk menunggu giliran untuk pengambilan darah saya mencuci lengan kiri. Saya berpikir keterpaksaan pada awal melakukan cuci darah ternyata bukan hal yang buruk. Saya merasakan kemudian bahwa kesehatan tubuh saya sedikit banyak disebabkan ssaya rutin berdonor 75 hari (2,5 bulan) sekali.

Hari ini dalam umur jelang 60 saya telah 47 kali berdonor. Itu bukan angka yang besar, baru 13 tahun. Seusia saya banyak orang lain yang sudah puluhan tahun berdonor. Setelah usai 60 ketentuan berdonor yaitu 6 bulan sekali. Saya berharap kesehatan terus menyertai sehingga masih dapat berdonor lebih lama, sampai batas syarat usia 65 tahun.

***

Mendonorkan darah tak lain sebuah tindakan mulia. Saya menggunakan kata ‘terpaksa’ karena memang kondisi isteri yang mengharuskan saya mempunyai pemikiran untuk ganti menolong orang yang membutuhkan darah. Isteri menggunakan darah orang lain yang rela berdonor, maka tidak ada salahnya saya pun bersikap serupa.

Donor membuat saya merasa sehat, ada hal lain yang menguntungkan. Saya setiap berdonor berarti mengecek kondisi kesehatan. Ukurannya sederhana, bila masih diperbolehkan untuk berdonor berarti masih cukup sehat. Sebelum dan sesudah berdonor saya merasa sehat-sehat saja.

Sampai saat ini saya tidak punya keluhan penyakit apapun. Saya tidak merokok, tidak pakai obat-obatan, berpuasa Senin-Kamis, rutin lima kali sehari berjalan ke masjid, dan rutin berolahraga ringan. Satu-atunya yang kurang sehat saya lakukan yaitu minum kopi, tepatnya kopi susu.  Selain itu saya duduk di depan laptop atau menonton televisi. Kegemaran lama tumbuh kembali setelah pensiun: menulis untuk berbagi dan bila mungkin menyebar kebaikan.

Tentu saja umur 60 tahun belum apa-apa. Masih ada 70, 80, bahkan 90. Namun untuk apa umur panjang kalau tidak sehat? Untuk apa umur panjang bila tidak mampu menghilangkan kesia-siaan. Berdonor kiranya menjawab pertanyaan untuk mendapatkan sehat dan menghilangkan kesia-siaan.

Itu saja  yang saya pikirkan hari ini, setelah melakukan donor darah. Dan seperti anjuran PMI saya pun mengajak Bapak – Ibu- Saudara yang memiliki tubuh sehat dan ingin terus sehat: “Mari Berdonor. Mari menolong memreka yang membutuhkan. Mari beramal-saleh dengan modal kesehatan kita. Jangan menunggu ‘dipaksa’ berdonor seperti saya. . . . .!”

Tentu para penerima donor darah tidak mampu mengucapkan terima kasih langsung kepada setiap pendonor. Mungkin saja mereka tereselamatkan jiwanya dengan darah itu. Mungkin saja penerima darah terhindar dari penyakit yang lebih parah. Dan semua itu  insya Allah kelak Tuhanlah yang akan membalasnya.

Setelah delapan tahun isteri berkutat dengan kondisi ketergantungan pada fasilitas HD dan kemudian program Askes untuk mendapatkan fasilitas CAPD, pada pertengahan Desember 2012 dalam usia 47 tahun ia menjemput maut (semoga Allah melapangkan kuburnya, dan menghapus dosa-dosanya, Aamin). Begitu banyak kenangan atas kebaikan dan kesabaran maupun ketabahannya menjalani masa-masa sulit itu, menjadikan saya tidak lagi merasa terpaksa untuk berdonor.

***

Begitu saja. Yang harus diingat niat baik pun ada manfaat dan negatifnya. Manfaat menjadi donor darah yaitu membuat jantung sehat, meningkatkan jumlah sel-sel darah merah, membantu program diet, cek kesehatan gratis, dan menyehatkan jiwa. Namun sisi negatif atau efek sampingnya yaitu menyebabkan tulang keropos (osteoporosis), serta pusing dan mual.   

Mari pertahankan kesehatan dan bobot tubuh kita untuk berdonor, sebelum kita kemungkinan memerlukan donor orang lain. Mari berdonor untuk mengukur kerelaan kita dalam berbagi, untuk menolong orang lain, dan mudah-mudahan benilai ibadah! Wassalam.
Bandung, 15 Maret 2017

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun