Lampu smartphone berkedip-kedip lucu, berturut-turut. Dengan nada panggil yang khas -suara kodok bangkong sedang kasmaran- memberi tahu pasangan kencannya entah di belahan kolam mana. Menirukan kesukaan Pak Jokowi pada suara kodok, Muski merasa dekat dan hebat, dan terlebih se-ide dangan presiden ceking yang nyentrik itu.
Muski dengan bersemangat membuka sms yang masuk. Terturutan. Pancingannya mendapatkan sambaran cepat.
“Eh ini Bang Hans, ya? Tumben? Datang saja! Aku tahu kebiasaanmu pakai nomor nggak dikenal. Caramu menulis sms pun aku hafal. . . . . .!” jawab pertama pasti seorang perempuan seperti sedang merindukan fans-nya.
“Aku takut kamu sudah kehilangan kewarasan. Kamu lupa minum obat tidurmu!” jawab kedua dengan nada marah.
“Mampus, Lu. . . .!” ancam jawaban lain.
“Ayo kita ketemu saja di simpang lima. Kita berantem kalau kamu jantan. Aku pacar Yolanda!” jawab sma ke empat, dengan nada kalimat tak kalah marah.
Muski menyeruput es teh dari cangkirnya. Sejuk di langit-langit rongga mulut, manisnya mengigit lidah, menggetarkan tenggorokan. Dingin es itu merambat lambat ke dada. Sensasi es teh itu diikuti kemudian dengan sedotan dalam pada lintingan rokok seperti yang pernah dilihatnya kala kakeknya dulu masih sehat di kaki Gunung Merbabu. Rajangan kasar daun tembakau hasil tanaman sendiri, ditambah klembak, menyan, dan sedikit daun ganja. . . hehe. Bukan, tapi cengkeh.
Dulu orang menyebut rokok bikinan sendiri itu rokok dukun. Baunya kuat menyengat, memunculkan aroma mistis serasa terjebak di kuburan tua pada gulita tengah malam Jumat Kliwon.
“Kreativitas dan imajinasi tumbuh subur karena iseng. Tidak harus sampai tuntas. Proses dan keberanian mengeksekusi menjadi hal lain yang tak kalah penting. Dan apapun itu, demikianlah kehidupan berlangsung. Mungkin saling menyakiti, saling membunuh, tapi bisa jadi sebaliknya saling menyayangi. . . . ., entahlah!” ucap Muski asal-asalan, lagaknya seorang pembicara ulung di atas mimbar yang terhormrat. “Ah, sudahlah. Semua itu iseng saja. Jangan dimasukkan ke dalam hati. Nah, minumlah es tehmu, Nona!”
Muski seperti sedang bermonolog untuk mengakhiri keisengannya malam itu. Di luar sana suara lalu-lintas masih riuh. Nyaring mesin kendaraan menderu, gerungan knalpot, dan derit rem bersahutan. Malam belum terlalu malam. Mustika membayangkan pada jam kedua suasana orang berpacaran, pasti makin rapat, makin lengket, makin lumat saja. . . . . ah ah.
Ah ya, andai saja pacaran yang kelima yang pernah kulakoni dulu tidak kandas, gumam Muski dengan sedikit haru. Lelaki itu memenuhi semua syarat ideal seorang calon suami, kecuali satu hal: ia sudah sepuluh tahun beristeri dengan dua anak usia balita yang mencintainya. Olalaaaa.. . .! Ia tidak ingin meladeni janji lelaki yang gampang obral janji. Tidak juga untuk lelaki cabul yang suka bertindak kejam ketika kepepet untuk mempertanggung-jawabkan kedunguannya. Ia tidak ingin namanya menambah panjang daftar korban mutilasi brutal.