Maka di teras rumah kost lantai dua itu Rumila terduduk kaku dengan wajah mendongak sambil merasakan berbagai aneka perasaan dan pikiran yang berkecamuk menjadi satu. Pemicunya tentu saja bulan purnama yang mencrang-mencorong-kinclong, meski sesekali menghilang tertutup tumpukan mega yang melaju bolak-balik seolah cemburu pada kecantikan rembulan penuh yang begitu sempurna.
Lalu Rumila teringat pada satu nama yang sudah sangat lama dilupakannya. Jowi, teman masa kanak hingga SMP, karib yang sangat menyenangkan. Sampai suatu hari lelaki cilik itu menghilang dibawa hanyut banjir Sungai Cikapundung. Rumila masih ingat pada pertanyaan Jowi yang tak pernah dijawabnya: “Mengapa kamu lebih suka berteman dengan aku yang cacat dan jelek ini? Padahal banyak cowok lain yang ganteng dan kaya ingin berteman akrab denganmu!”
***
Jelang tengah malam selalu ada kejadian menarik di gerbang rumah kost. Para lelaki yang mengantar pacar dari acara mereka, entah apa. Rumila sampai hafal apa yang mereka lakukan di depan gerbang. Ada yang sekadar saling melambaikan tangan, yang lain berpelukan; tapi tak jarang ada yang justru bertengkar hebat. Ada yang pakai teriak-teriak segala sehingga semua penghuni rumah kost melongok keluar jendela.
Ketika Saskia melangkah menaiki tangga menuju lantai dua rumah kost, Rumila menunggu di ujung tangga. Kawan kuliah itu tampak kesal dengan mulut masih mengomel.
“Bagiku, purnama selalu membawa sial. . . . . .!” ucap Saskia sebelum Rumila berkata sesuatu. “Tiga purnama kami berpacaran, dan pada purnama ke empat semuanya harus selesai. . . . .!”
Rumila tak ingin berkomentgar, tak ingin berbantahan. Tiap orang toh boleh saja punya pendapat berbeda, karena pikiran dan pengalaman hidup orang per orang juga berbeda. Tapi baginya sendiri, purnama selalu berasa stroberi, tak lebih tak kurang!***
Bandung, 14 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H