Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Horor Koplak) Selepas Pernikahan Den Jambul pun Raib

12 Januari 2017   23:41 Diperbarui: 13 Januari 2017   08:43 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini kisah terjadi puluhn tahun silam. Jadul banget ya? Yo ben! Kisahnya Den Jambul yang nama aslinya Denmas Ronggo Rodokerow. Ia masih keturunan kraton. Namun ya sekadar keturunan saja, itupun tidak diakui karena ia konon hasil perselingkuhan antara petinggi kraton dengan seorang gadis desa yang kebetulan cantik-molek nan jelita. Gadis desa itu tak lain jelmaan Ratu Selatan. .. .hhiiiih!

Maka Den Jambul tumbuh menjadi pemuda yang agak slebor, berhati kendor, dan sering tampil menor. Gilanya ia tertarik seorang gadis yang berparas cantik, putih, langsing dan cerdas. Ia keturunan saudagar kaya bermata sipit. Ya, tentu saja kisah percintaan dengan gadis itu –namanya Ling Ling, dan sangat marah ketika dipanggil Ling Lung- tidaklah mulus. Janji bertemu dan berkencan harus dilalui dengan ketegangan. Keluarga besar pihak Ling Ling menolak keras kehadiran Jambul. Jangan lagi untuk melamar dan menikah, untuk berpacaran pun ogah. Itu hanya mimpi si Jambul di siang bolong. Alias bohong. Dalam bahasa kekinian hoax bin howekk. Ya, siapa yang bergembira bersuamikan seorang lelaki calon jembel.

Namun cinta Den Jambul sangat besar. Tidak dapat diukur dengan besarnya gunung Semeru dan luasnya samudra Pasifik. Lebih dari itu tentu. Dan aneh bin ajaib romansa beda suku itu tidak bertepuk sebelah tangan. Tepuk tangan? Ya! Nada suaranya jelas, gegap gempita suara tepukan. Ohh, itu suara para suporter kesebelasan Persib yang merayakan kemenangan timnya setelah sebuah gol Jajang bersarang manis ke gawang PSMS Medan pada final kompetisi Galatama.

Adjat Sudradjat melompat tinggi sekali untuk merayakan golnya, sementara teman-teman setim  menunggu di bawah termangu-mangu. Ohh, rupanya tubuh Kang Adjat nyangkut di atap tribun. Mau bergaya malah dapat malu. Diperlukan bala bantuan untuk dapat menurunkannya dengan hati-hati agar tubuh Kang Adjat tidak terjatuh dari ketinggian, agar kemudian dapat melanjutkan pertandingan yang bersisa hanya lima menit saja. Skor satu untuk PSMS dan dua untuk Persib.

Pada detik-detik akhir pertandingan, palang pintu Robby Darwis melakukan blunder amat merugikan. Robby bermaksud menghalau jauh-jauh tendangan keras Suharto ke arah gawang. Malang (bukan Biltas apalagi Banyuwangi), si kulit bundar buatan pengrajin bola Majalengka itu justru bergerak  liar. Serupa satwa liar, petugas liar, dan apalagi nafsu liar, semuanya ‘unpredictable’ alias ngggak nyangka begitu jadinya. Sayang seribu kali sayang putaran bola itu melintir, melesat, memantul, dan akhirnya . . . . .. Bukannya menjauhi gawang, sebaliknya justru melesak dengan gagah ke gawang Persib. Gol, gol, gooolllll! Skor dua sama. Bobotoh lunglai. Tidak ada sorak-sorai, tanpa kehebohan. Yang ada justru mulai marah, tidak terima, dan buntutnya mudah diduga: rusuh!

Wadouw, jadi ngelantur menjadi reportase sepakbola. Punten pisan, ahh. Nah, kembali ke cerita inti. Setelah beberapa purnama kisah romansa kucing-kucinang dua sejoli berlangsung genting dan menegangkan (sebab taruhannya nyawa bagi keduanya), sebuah kesalahan kecil harus terjadi. Den Jambul yang selama ini berpura-pura menjadi kuli angkut dalam perusahaan Babah Ho Liong (babenya Ling Ling) tak pelak ketahuan belangnya. Biasanya Den Jambul berpakaian layaknya kuli lain.  Kulit kehitaman, rambut dan pakaian tak terurus, tanpa alas kaki, dan pandangan mata selalu tertunduk di depan para tauke.

Sore itu Den Jambul berdandan habis-habisan di kamar sempit tempat para kuli dibuatkan bangunan asal jadi untuk tempat tidur. Ia ada janji di bawah pohon ketapang di sudut alun-alun kecamatan Tompel. Saat itu Ling Ling berpura hendak ke rumah gurunya. Dan di bawah pohon katapang itulah terjadi peristiwa menyedihkan: terpergok. Mereka tertangkap basah sedang bergandengan tangan sambil mendendangkan sebuah lagu Titik Sandhora-Muksin Alatas. Judul lagunya ‘Kisah Adam dan Hawa’, dinyanyikian secara duet, saling bersahutan. Romantis nian. Mungkin begitu pula warna hati Den Jambul dan Cik Ling Ling. 

“Nah, apa yang kucurigai selama ini terbukti sudah. Kalian berpacaran dan hendak melarikan diri untuk menyalamatkan kisah cinta kalian, ‘kan. . . . .?” ujar Kok Han Han dengan bengis.

Anak sulung Babah Ho Liong itu segera menyeret Ling Ling untuk pulang. Apapun kata Den Jambul maupun Ling Ling untuk berkilah tidak dihiraukan Kok Han Han. Di belakang lelaki muda itu ada beberapa orang tukang pukul bangsa pribumi. Den Jambul terpaksa melarikan diri agar tidak kena hantam para tukang pukul.

Alkisah, Ling Ling di sekap di tempat yang aman dan terpencil. Di sebuah ruangan kecil hanya ada lampu tempel minyak tanah, buku-buku adat-budaya dan sejarah Tiogkok, dan ranjang kayu dengan kasur kapuk randu tipis. Daun jendela dapat dibuka bila siang hari, namun ada teralis besi terpasang di sana untuk dapat meloloskan diri.

Ling ling hanya dapat menyesali nasibnya. Siang-malam ia menangis. Ia tidak mau makan, tidak mau minum, dan hanya melamun dan menangis. Dalam beberapa bulan saja tubuhnya jadi kurus-kering. Ia selalu menolak bila ingin dinikahkan dengan perjaka pilihan ayahnya. Dan suatu hari Ling Ling ditemukan telah tewas.

Seorang petugas rumah tangga.menemukan jazad terduduk layu di ranjang kayu. Di tangannya masih tergenggam selembar kertas warna kecoklatan. Agaknya itu sebuah surat yang diselundupkan seorang kurir ke kamar Ling Ling. Surat Den Jambul itu selain mengisahkan tentang kerinduan juga memberi keyakinan pada Ling Ling bahwa kalaupun di dunia tidak dapat dipersandingkan dalam sebuah perkawinan, ia yakin di akhirat Tuhan akan mempertemukan mereka. . . . . !

Berita kematian Ling Ling segera menyebar. Tak terkira sedih dan masgul hati Den Jambul. Ia seperti kehilangan gairah hidup. Siang-malam Den Jambul berdoa untuk dipertemukan dengan kekasihnya itu.

Agaknya doa Den Jambul terkabul bukan di akhirat. Beberapa minggu kemudian seorang gadis datang malam-malam. Mengetuk daun pintu yang segera dibuka dari dalam. Harum, semampai, putih dan berbusana sangat indah. Den Jambul agak pangling. Perempuan itu berdiri di depan pintu dengan senyumnya yang menggetarkan. Angin malam bertiup lumayan kencang. Rintik gerimis sejak sore mengguyur perkampungan itu. Sepi, mistis. 

“Siapa? Ling Ling. . . . . .?” tanya Den Jambul ragu-ragu. Seketika ia ingat calon isterinya itu sudah meninggal dunia. Bulu-bulu di tengkuk dan lengannya segera berdiri.

Tidak ada jawaban. Perempuan itu langsung saja melangkah ke dalam rumah besar milik Den Jambul yang kaya-raya dari hasil bisnis penangkapan ikan laut. Hasil tangkapan perahu-perahu Den Jambul yang selalu melimpah itu tak lepas dari bantuan dari ibunya, sang penguasa Pantai Selatan.

Sikap perempuan serupa Ling Ling itu tak urung membuat kelelakian Den Jambul terusik. Serupa ular derik yang sedang asyik bergelung menunggu mangsa, tak dinyana mangsa pun tiba. Seketika pula semua jadi lupa. Ia terpana, terlena, dan akhirnya pulas dalam pelukan mimpi tak terkirakan indahnya.

*** 

Sahdan malam-malam perempuan misterius itu kembali datang. Waktunya hampir sama. Jelang tengah malam. Saat angin semilir, gerimis merinai, dan gejolak kelelakian sang jomblo sendang di puncak kerinduan. Bayangan pada Ling Ling dengan senyum, sikap dan tutur-kata yang lembut segera lenyap digantikan sosok lain yang lebih nyata. Penampilannya hampir serupa. Namun yang ini sudah begitu pasrah dan menyerah, seolah menyediakan diri untuk isteri nan setia menerima pelampiasan rindu-dendam si calon pengantin yang urung terlaksana. Den Jambul pun tak sempat berpikir panjang siapa sesungguhnya yang mendatanginya.

***

Satu siang tiga bula kemudian. Den Jambul sedang duduk santai di depan teras. Merokok kretek dan minum kopi panas di cangkir berukir kesayangannya.  Ia baru pulang dari dermaga kecil tempat perahu-perahu ikannya ditambatkan. Hasil tangkapan hari ini  kurang menggembirakan. Laut berombak besar. perahu tidak berani menjaring ikan sampai ke tengah laut.

Maka wajah Den Jambul kecut. Wajah itu tambah muram manakala ingat dalam dua minggu terakhir perempuan yang selama ini kerap datang jelang tengah malam telah mangkir. Ia berpikir apakah perempaun itu telah pindah ke pelukan lelaki lain? Atau jangan-jangan ia tak pandai lagi melayani perempuan misterius itu.

Jelang maghrib serombongan orang berbaris di depan pintu gerbang. Den Jambul terkejut. Ia menyuruh Lamsidi si asisten rumah tangga untuk membuka gerbang. Den jambul membatin, mereka bukan nelayan yang berdemo, bukan penduduk setempat yang ingin minta sumbangan, dan entah siapa. Lalu siapa mereka?

Den Jambul mempersilahkan rombongan tamu belasan orang itu masuk ke rumahnya. Dan betapa kagetnya ia sebab diantara tamu itu ada sosok perempuan yang selama ini selalu datang. Ia hafal langkah kaki, perawakan, dan solah-tingkah perempuan itu. Namun wajah perempuan itu tertutup cadar. Den jambul curiga lalu menduga-duga, dan dugaanya hampir pasti, namun ia ingin minta kejelasan.

Sebelum tamu membuka pembicaraan, Den Jambul mendahului bertanya: “Saya sangat kaget atas kedatangan rombongan ini. Dari mana, dalam rangka apa, dan mengapa? Adakah semua ini bersangkut-paut dengan saya?”

Den Jambul tidak fokus mendengarkan apa kata seorang tamu yang mewakili rombongan. Matanya tertuju pada perut perempuan milirp Ling Ling yang tampak membukit kecil. Hatinya berdesir halus untuk segera tahu inikah mungkin pokok soal kedatangan mereka.

***

Para tetangga dekat hanya tahu malam itu suasana rumah Den Jambul ssangat ramai. Seperti bunyi gamelan penganten. Para tamu datang silih-berganti, suara piring, garpu dan gelas kaca gemerincing menandai pesta makan-minum yang sangat meriah.

Namun sejak malam itu Den Jambul alias Denmas Ronggo Rodokerow yang berpenampilan slebor, berhati kendor, dan sering tampil menor, lenyap tak tahu rimbanya. Raib. Lamsidi –si asisten rumah tangga yang setia- juga ikut menghilang. Rumah dan bisnis perikanan diteruskan saudara jauh Den Jambul, namun segera bangkrut dan tutup. Seorang tetua desa yang punya kearifan Kejawen bermimpi diperlihatkan Den Jambul dijemput ibunya untuk dinikahkan dengan Ling Ling di dunia kegaiban Laut Selatan. ***

Bandung, 12 Januari 2017

Sumber gambar

kyb-587792ab0f9773e64d36d124-5877b1195497730e0b4e1136.jpg
kyb-587792ab0f9773e64d36d124-5877b1195497730e0b4e1136.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun